SELAMAT DATANG

Hidup tanpa sehat takkan bahagia

Kamis, 23 Desember 2010

POLIP NASI

Polip nasi ialah massa lunak yang bertangkai di dalam rongga hidung yang terjadi akibat inflamasi mukosa. Permukaannya licin, berwarna putih keabu-abuan dan agak bening karena mengandung banyak cairan. Bentuknya dapat bulat atau lonjong, tunggal atau multipel, unilateral atau bilateral. Polip dapat timbul pada penderita laki-laki maupun perempuan, dari usia anak-anak sampai usia lanjut. Bila ada polip pada anak di bawah usia 2 tahun, harus disingkirkan kemungkinan meningokel atau meningoensefalokel.
Dulu diduga predisposisi timbulnya polip nasi ialah adanya rinitis alergi atau penyakit atopi, tetapi makin banyak penelitian yang tidak mendukung teori ini dan para ahli sampai saat ini menyatakan bahwa etiologi polip nasi masih belum diketahui dengan pasti.
Histopatologi polip nasi
Secara makroskopik polip merupakan massa dengan permukaan licin, berbentuk bulat atau lonjong, berwarna pucat keabu-abuan, lobular, dapat tunggal atau multipel dan tidak sensitif (bila ditekan/ditusuk tidak terasa sakit). Warna polip yang pucat tersebut disebabkan oleh sedikitnya aliran darah ke polip. Bila terjadi iritasi kronis atau proses peradangan warna polip dapat berubah menjadi kemerah-merahan dan polip yang sudah menahun warnanya dapat menjadi kekuning-kuningan karena banyak mengandung jaringan ikat.
Tempat asal tumbuhnya polip terutama dari tempat yang sempit di bagian atas hidung, di bagian lateral konka media dan sekitar muara sinus maksila dan sinus etmoid. Di tempat-tempat ini mukosa hidung saling berdekatan. Bila ada fasilitas pemeriksaan dengan endoskop, mungkin tempat asal tangkai polip dapat dilihat. Dari penelitian Stammberger didapati 80% polip nasi berasal dari celah antara prosesus unsinatus, konka media dan infundibulum.
Ada polip yang tumbuh ke arah belakang dan membesar di nasofaring, disebut polip koana. Polip koana kebanyakan berasal dari dalam sinus maksila dan disebut juga polip antro-koana. Menurut Stammberger polip antrokoana biasanya berasal dari kista yang terdapat pada dinding sinus maksila. Ada juga sebagian kecil polip koana yang berasal dari sinus etmoid posterior atau resesus sfenoetmoid.
Diagnosis Polip Nasi
Anamnesis
Keluhan utama penderita polip nasi ialah hidung rasa tersumbat dari yang ringan sampai berat, rinore mulai yang jernih sampai purulen, hiposmia atau anosmia. Mungkin disertai bersin-bersin, rasa nyeri pada hidung disertai sakit kepala di daerah frontal. Bila disertai infeksi sekunder mungkin didapati post nasal drip dan rinore purulen. Gejala sekunder yang dapat timbul ialah bernafas melalui mulut, suara sengau, halitosis, gangguan tidur dan penurunan kualitas hidup.

Gejala pada saluran napas bawah didapati pada kurang lebih sepertiga kasus polip, dapat berupa batuk kronik dan mengi, terutama pada penderita polip nasi dengan asma.

Selain itu harus ditanyakan riwayat rintis alergi, asma, intoleransi terhadap aspirin dan alergi obat lainnya serta alergi makanan.
Pemeriksaan Fisik
Polip nasi yang masif dapat menyebabkan deformitas hidung luar sehingga hidung tampak mekar karena pelebaran batang hidung. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior terlihat sebagai massa yang berwarna pucat yang berasal dari meatus medius dan mudah digerakkan.
Untuk kepentingan penelitian agar hasil pemeriksaan dan pengobatan dapat dilaporkan dengan standar yang sama, Mackay dan Lund pada tahun 1997 membuat pembagian stadium polip sebagai berikut, stadium 0 : tidak ada polip, stadium 1 : polip masih terbatas di meatus medius, stadium 2: polip sudah keluar dari meatus medius, tampak di rongga hidung tapi belum memenuhi rongga hidung, stadium 3: polip yang masif.
Naso-endoskopi
Adanya fasilitas endoskop (teleskop) akan sangat membantu diagnosis kasus polip yang baru. Polip stadium 2 kadang-kadang tidak terlihat pada pemeriksaan rinoskopi anterior tetapi tampak dengan pemeriksaan nasoendoskopi.
Pada kasus polip koanal juga sering dapat dilihat tangkai polip yang berasal dari ostium asesorius sinus maksila.
Pemeriksaan Radiologi
Foto polos sinus paranasal (posisi Waters, AP, Caldwell dan lateral) dapat memperlihatkan penebalan mukosa dan adanya batas udara-cairan di dalam sinus, tetapi sebenarnya kurang bermafaat pada kasus polip nasi karena dapat memberikan kesan positif palsu atau negatif palsu, dan tidak dapat memberikan informasi mengenai keadaan dinding lateral hidung dan variasi anatomis di daerah kompleks ostio-meatal. Pemeriksaan tomografi komputer (TK, CT scan) sangat bermanfaat untuk melihat dengan jelas keadaan di hidung dan sinus paranasal apakah ada proses radang, kelainan anatomi, polip atau sumbatan pada kompleks ostiomeatal. TK terutama diindikasikan pada kasus polip yang gagal diobati dengan terapi medikamentosa, jika ada komplikasi dari sinusitis dan pada perencanaan tindakan bedah terutama bedah endoskopi. Biasanya untuk tujuan penapisan dipakai potongan koronal, sedangkan pada polip yang rekuren diperlukan juga potongan aksial.
Penatalaksanaan
Tujuan utama pengobatan pada kasus polip nasi ialah menghilangkan keluhan-keluhan yang dirasakan oleh pasien. Selain itu juga diusahakan agar frekuensi infeksi berkurang, mengurangi/menghilangkan keluhan pernapasan pada pasien yang disertai asma, mencegah komplikasi dan mencegah rekurensi polip.
Pemberian kortikosteroid untuk menghilangkan polip nasi disebut juga polipektomi medikamentosa. Untuk polip stadium 1 dan 2, sebaiknya diberikan kortikosteroid intranasal selama 4-6 minggu. Bila reaksinya baik, pengobatan ini diteruskan sampai polip atau gejalanya hilang. Bila reaksinya terbatas atau tidak ada perbaikan maka diberikan juga kortikosteroid sistemik. Perlu diperhatikan bahwa kortikosteroid intranasal mungkin harganya mahal dan tidak terjangkau oleh sebagian pasien, sehingga dalam keadaan demikian langsung diberikan kortikosteroid oral. Dosis kortikosteroid saat ini belum ada ketentuan yang baku, pemberian masih secara empirik misalnya diberikan Prednison 30 mg per hari selama seminggu dilanjutkan dengan 15 mg per hari selama seminggu.Menurut van Camp dan Clement dikutip dari Mygind dan, Lidholdt untuk polip dapat diberikan prednisolon dengan dosis total 570 mg yang dibagi dalam beberapa dosis, yaitu 60 mg/hari selama 4 hari, kemudian dilakukan tapering off 5 mg per hari. Menurut Naclerio pemberian kortikosteroid tidak boleh lebih dari 4 kali dalam setahun. Pemberian suntikan kortikosteroid intrapolip sekarang tidak dianjurkan lagi mengingat bahayanya dapat menyebabkan kebutaan akibat emboli. Kalau ada tanda-tanda infeksi harus diberikan juga antibiotik. Pemberian antibiotik pada kasus polip dengan sinusitis sekurang-kurangnya selama 10-14 hari.
Kasus polip yang tidak membaik dengan terapi medikamentosa atau polip yang sangat masif dipertimbangkan untuk terapi bedah. Terapi bedah yang dipilih tergantung dari luasnya penyakit (besarnya polip dan adanya sinusitis yang menyertainya), fasilitas alat yang tersedia dan kemampuan dokter yang menangani. Macamnya operasi mulai dari polipektomi intranasal menggunakan jerat (snare) kawat dan/ polipektomi intranasal dengan cunam (forseps) yang dapat dilakukan di ruang tindakan unit rawat jalan dengan analgesi lokal; etmoidektomi intranasal atau etmoidektomi ekstranasal untuk polip etmoid; operasi Caldwell-Luc untuk sinus maksila. Yang terbaik ialah bila tersedia fasilitas endoskop maka dapat dilakukan tindakan endoskopi untuk polipektomi saja, atau disertai unsinektomi atau lebih luas lagi disertai pengangkatan bula etmoid sampai Bedah Sinus Endoskopik Fungsional lengkap.27-28,31 Alat mutakhir untuk membantu operasi polipektomi endoskopik ialah microdebrider (powered instrument) yaitu alat yang dapat menghancurkan dan mengisap jaringan polip sehingga operasi dapat berlangsung cepat dengan trauma yang minimal.27
Untuk persiapan prabedah, sebaiknya lebih dulu diberikan antibiotik dan kortikosteroid untuk meredakan inflamasi sehingga pembengkakan dan perdarahan berkurang, dengan demikian lapang-pandang operasi lebih baik dan kemungkinan trauma dapat dihindari.
Pasca bedah perlu kontrol yang baik dan teratur mengunakan endoskop, dan telah terbukti bahwa pemberian kortikosteroid intranasal dapat menurunkan kekambuhan.

Kamis, 04 November 2010

MENGENAL KANKER


Penyakit kanker adalah suatu penyakit akibat pertumbuhan sel yang tidak terkendali dari satu jenis sel karena terjadi perubahan genetik sel tersebut, termasuk jaringan hati. Terjadi perubahan morfologi, sifat bio kimia, struktur kromosom dan kehilangan sifat kendali yang normal terhadap pertumbuhan di sekelilingnya.
Sel Kanker dari jaringan manapun, merupakan sel yang mandiri sehingga berpotensi menyebar ke jaringan yang jauh dari tempat asalnya misalnya dari hati ke paru-paru. Hingga kini penyebab kanker masih dalam penelitian para ahli, dan diduga penyebabnya multi faktor serta berkaitan satu dengan yang lain.
Faktor yang diduga berperan dan merupakan risiko untuk mendapatkan kanker adalah usia, jenis kelamin, ras, genetik, kekebalan, zat kimia yang merangsang timbulnya kanker, radiasi, virus, cacing hati, diet, tembakau, merokok dan alkohol.
Infeksi Virus yang sering merusak hati adalah Virus Hepatitis B dan Hepatitis C, yang menurut para pakar jumlahnya tinggi di Indonesia (sekitar 40% hingga 60%). Virus Hepatitis ini bisa memberikan gejala radang, namun banyak juga yang tidak memberikan reaksi radang. Dalam pemeriksaan darah penderita Hepatitis B dan Hepatitis C, akan didapatkan tanda tanda infeksi virus hepatitis B atau C di darah penderita
Awal Kanker hati hampir selalu tidak memberikan keluhan yang khas, kecuali bila kebetulan kita memeriksa penanda tumor hati yang ada di darah (biasanya pemeriksaan A.F.P dan CEA), kita akan mendapatkan titer penanda tumor hati yang tinggi. Namun anda patut curiga bila berat badan menurun secara drastis misalnya 20 kg dalam 3 bulan tanpa diet atau olahraga, penurunan berat badan tersebut disertai rasa mual dan muntah yang hebat. Pada beberapa kasus sering timbul warna kuning kunyit pada daerah putih mata, terutama bila jaringan kanker telah menyumbat saluran kearah empedu. Di stadium lanjut, terjadi perdarahan pada saluran cerna akibat pecahnya pembuluh darah di sekitar lambung, yang menyebabkan penderita muntah darah segar dan buang air besar berwarna seperti aspal cair/kopi. Penurunan zat pembeku darah (thrombosit) pernah dilaporkan pada beberapa kasus dengan gejala terjadi bintik bintik perdarahan dikulit, bercak perdarahan di bagian putih mata, atau mengeluarkan darah segar dari lubang lubang yang ada ditubuh.
Apakah penyakit Kanker hati menular? Tergantung dari penyebab timbulnya kanker hati tersebut. Pada beberapa kasus, kebiasan buruk seperti merokok, pecandu alkohol/narkoba, kebiasaan memakan jamur/kapang tertentu yang mengandung alpha toxin, menghirup zat kimia/terpapar zat kimia merupakan pencetus timbulnya kanker hati.
Penyakit infeksi yang dapat merangsang timbulnya kanker hati adalah infeksi Hepatitis type B atau C, yang dapat ditularkan pada orang orang tertentu yang terkena cairan penderita Hepatitis B atau C misalnya pada isteri melalui hubungan suami isteri atau pada pemakaian satu jarum suntik untuk beberapa orang, melalui alat tato, sikat gigi atau alat cukur jenggot yang dipakai bersama. Karena itu anda potensial dapat tertular penyakit Hepatitis B atau C bila suami merupakan penderita Hepatitis type B atau C. Untuk mendeteksinya sebaiknya ibu memeriksakan darah ibu dan anak anak ke Laboratorium yang mempunyai fasilitas pemeriksaan anti virus sesegera mungkin.
Di daerah di mana ditemukan parasit cacing hati (Clonorchis Sinensis) sering terjadi kanker hati akibat parasit cacing hati dimana penularan terjadi pada orang orang yang senang memakan siput mentah yang terkena/mengandung cacing hati. Dianjurkan bila anda senang memakan siput siput air tawar/laut, sebaiknya anda memasaknya dengan benar dan matang untuk membunuh cacing-cacing yang ada dalam tubuh siput/keong.
Kanker Tulang Primer
DEFINISI
Terdapat 2 macam kanker tulang:
  1. Kanker tulang metastatik atau kanker tulang sekunder : kanker dari organ lain yang menyebar ke tulang, jadi kankernya bukan berasal dari tulang.
    Contohnya adalah kanker paru yang menyebar ke tulang, dimana sel-sel kankernya menyerupai sel paru dan bukan merupakan sel tulang.
  2. Kanker tulang primer : merupakan kanker yang berasal dari tulang.
    Yang termasuk ke dalam kanker tulang primer adalah:
    - Mieloma multipel
    - Osteosarkoma
    - Fibrosarkoma & Histiositoma Fibrosa Maligna
    - Kondrosarkoma
    - Tumor Ewing
    - Limfoma Tulang Maligna.
MIELOMA MULTIPEL
Mieloma Multipel merupakan kanker tulang primer yang paling sering ditemukan, yang berasal dari sel sumsum tulang yang menghasilkan sel darah.
Umumnya terjadi pada orang dewasa.
Tumor ini dapat mengenai satu atau lebih tulang sehingga nyeri dapat muncul pada satu tempat atau lebih.
Pengobatannya rumit, yaitu meliputi kemoterapi, terapi penyinaran dan pembedahan.
OSTEOSARKOMA
Osteosarkoma (Sarkoma Osteogenik) adalah tumor tulang ganas, yang biasanya berhubungan dengan periode kecepatan pertumbuhan pada masa remaja.
Osteosarkoma merupakan tumor ganas yang paling sering ditemukan pada anak-anak. Rata-rata penyakit ini terdiagnosis pada umur 15 tahun.
Angka kejadian pada anak laki-laki dan anak perempuan adalah sama, tetapi pada akhir masa remaja penyakit ini lebih banyak ditemukan pada anak laki-laki.
Penyebab yang pasti tidak diketahui. Bukti-bukti mendukung bahwa osteosarkoma merupakan penyakit yang diturunkan.
Osteosarkoma cenderung tumbuh di tulang paha (ujung bawah), tulang lengan atas (ujung atas) dan tulang kering (ujung atas).
Ujung tulang-tulang tersebut merupakan daerah dimana terjadi perubahan dan kecepatan pertumbuhan yang terbesar. Meskipun demikian, osteosarkoma juga bisa tumbuh di tulang lainnya.
Gejala yang paling sering ditemukan adalah nyeri. Sejalan dengan pertumbuhan tumor, juga bisa terjadi pembengkakan dan pergerakan yang terbatas.
Tumor di tungkai menyebabkan penderita berjalan timpang, sedangkan tumor di lengan menimbulkan nyeri ketika lengan dipakai untuk mengangkat sesuatu benda.
Pembengkakan pada tumor mungkin teraba hangat dan agak memerah.
Tanda awal dari penyakit ini bisa merupakan patah tulang karena tumor bisa menyebabkan tulang menjadi lemah. Patah tulang di tempat tumbuhnya tumor disebut fraktur patologis dan seringkali terjadi setelah suatu gerakan rutin.
  • Rontgen tulang yang terkena
  • CT scan tulang yang terkena
  • Pemeriksaan darah (termasuk kimia serum)
  • CT scan dada untuk melihat adanya penyebaran ke paru-paru
  • Biopsi terbuka
  • Skening tulang untuk melihat penyebaran tumor. Sebelum dilakukan pembedahan, diberikan kemoterapi yang biasanya akan menyebabkan tumor mengecil.
    Kemoterapi juga penting karena akan membunuh setiap sel tumor yang sudah mulai menyebar.
    Kemoterapi yang biasa diberikan:
    - Metotreksat dosis tinggi dengan leukovorin
    - Doxorubicin (adriamisin)
    - Cisplatin
    - Cyclophosphamide (sitoksan)
    - Bleomycin.
    Jika belum terjadi penyebaran ke paru-paru, maka angka harapan hidup mencapai 60%.
    Sekitar 75% penderita bertahan hidup sampai 5 tahun setelah penyakitnya terdiagnosis.
    Osteosarkoma
    FIBROSARKOMA & HISTIOSITOMA FIBROSA MALIGNA
    Kanker ini biasanya berasal dari jaringan lunak (jaringan ikat selain tulang, yaitu ligamen, tendo, lemak dan otot) dan jarang berawal dari tulang.
    Kanker ini biasanya ditemukan pada usia lanjut dan usia pertengahan.
    Tulang yang paling sering terkena adalah tulang pada tungkai, lengan dan rahang.
    Fibrosarkoma dan Histiositoma Fibrosa Maligna mirip dengan osteosarkoma dalam bentuk, lokasi dan gejala-gejalanya. Pengobatannya juga sama.
    KONDROSARKOMA
    Kondrosarkoma adalah tumor yang terdiri dari sel-sel kartilago (tulang rawan) yang ganas.
    Kebanyakan kondrosarkoma tumbuh lambat atau merupakan tumor derajat rendah, yang sering dapat disembuhkan dengan pembedahan. Tetapi, beberapa diantaranya adalah tumor derajat tinggi yang cenderung untuk menyebar.
    Untuk menegakkan diagnosis perlu dilakukan biopsi.
    Kondrosarkoma harus diangkat seluruhnya melalui pembedahan karena tidak bereaksi terhadap kemoterapi maupun terapi penyinaran. Amputasi tungkai atau lengan jarang diperlukan. Jika tumor diangkat seluruhnya, lebih dari 75% penderita bertahan hidup.
    TUMOR EWING
    Tumor Ewing (Sarkoma Ewing) muncul pada masa pubertas, dimana tulang tumbuh sangat cepat. Jarang ditemukan pada anak yang berumur kurang dari 10 tahun dan hampir tidak pernah ditemukan pada anak-anak Afro-Amerika.
    Tumor bisa tumbuh di bagian tubuh manapun, paling sering di tulang panjang anggota gerak, panggul atau dada.
    Tumor juga bisa tumbuh di tulang tengkorak atau tulang pipih lainnya.
    Gejala yang paling sering dikeluhkan adalah nyeri dan kadang pembengkakan di bagian tulang yang terkena. Penderita juga mungkin mengalami demam.
    Tumor mudah menyebar, seringkali menyebar ke paru-paru dan tulang lainnya.
    Pada saat terdiagnosis, penyebaran telah terjadi hampir pada 30% penderita.
    Jika diduga suatu tumor, maka biasanya dilakukan pemeriksaan untuk menentukan lokasi dan penyebaran tumor:
  • Rontgen tulang kerangka tubuh
  • Rontgen dada
  • CT scan dada
  • Skening tulang
  • Biopsi tumor. Pengobatan seringkali merupakan kombinasi dari:
  • Kemoterapi (siklofosfamid, vinkristin, daktinomisin, doksorubisin, ifosfamid, etoposid)
  • Terapi penyinaran tumor
  • Terapi pembedahan untuk mengangkat tumor.
    Prognosis tergantung kepada lokasi dan penyebaran tumor. LIMFOMA TULANG MALIGNA
    Limfoma Tulang Maligna (Sarkoma Sel Retikulum) biasanya timbul pada usia 40- 50 tahun.
    Bisa berasal dari tulang manapun atau berasal dari tempat lain di tubuh kemudian menyebar ke tulang.
    Biasanya tumor ini menimbulkan nyeri dan pembengkakan, dan tulang yang rusak lebih mudah patah.
    Pengobatan terdiri dari kombinasi kemoterapi dan terapi penyinaran, yang sama efektifnya dengan pengangkatan tumor. Amputasi jarang diperlukan.

Rabu, 27 Oktober 2010

Spondilitis TB

II.1 PENDAHULUAN
Di Indonesia, TB masih merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Sampai saat ini, Indonesia merupakan negara dengan pasien TB terbanyak ke-3 di dunia setelah India dan Cina. Diperkirakan terdapat 583.000 kasus baru tuberkulosis per tahun, sebagian besar berada dalarn usia produktif (15-54 tahun), dengan tingkat sosioekonomi dan pendidikan yang rendah. Diperkirakan jumlah pasien TB di Indonesia sekitar 10% dari total jumlah pasien TB didunia. 1,2
Tahun 1995, hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) menunjukkan bahwa penyakit TB merupakan penyebab kematian nomor tiga (3) setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan pada semua kelompok usia, dan nomor satu (1) dari golongan penyakit infeksi. Sampai tahun 2005, program Penanggulangan TB dengan Strategi DOTS menjangkau 98% Puskesmas, sementara rumah sakit dan BP4 / RSP baru sekitar 30%.1,2
Tuberkulosa (TB) adalah suatu penyakit menular yg dapat berakibat fatal dan dapat mempengaruhi semua bagian tubuh. Hampir 10 % mengenai musculoskeletal, dan 50 % mempunyai lesi di tulang belakang dengan disertai defisit neurologis pada 10 – 45 % penderita.1,2
Kelumpuhan akan terjadi bila infeksi TBC mengenai Corpus Vertebra dan terjadi kompresi pada medula spinalis. Bila terjadi dan menetap (irreversible) akan mengganggu dan membebani tidak saja penderita sendiri, tetapi juga keluarga dan masyarakat. Mengingat pentingnya hal ini, maka penekanan pada topik ini lebih diarahkan ke infeksi TBC pada tulang belakang. 2
Spondilitis tuberkulosis merupakan salah satu kasus penyakit tertua dalam sejarah dengan ditemukan dokumentasi kasusnya pada mummi di Mesir dan Peru’-2. Sir Percival Pott (1799) mendeskrispsikan penyakit ini dalam monografnya yang klasik dan sejak saat itu spondilitis tuberkulosa dikenal juga sebagai penyaldt Pott (Port’s disease).
Spondilitis tuberkulosa merupakan infeksi sekunder dari infeksi tuberkulosis dengan penyebaran sebagian besar secara hematogen melalui pembuluh darah arteri epifiseal atau melalui plexus vena Batson. Banerjee melaporkan pada 499 pasien dengan spondilitis tuberkulosa, radiologis memperlihatkan 31% fokus primer adalah paru-paru dan dari kelompok tersebut 78% adalah anak-anak, sedangkan 69% sisanya memperlihatkan foto rantgen paru yang normal dan sebagian besar adalah dewasa. (1,2)
Sampai saat ini belum ada suatu ketentuan khusus mengenai penatalaksaan spondilitis TB. Masih terdapat banyak pertentangan apakah diterapi secara konservatif atau operatif, pendekatan anterior – posterior ataupun kombinasi, memakai instrumentasi atau tidak. 2
Total treatment merupakan panduan untuk penatalaksanaan spondilitis TB dengan membagi sepuluh alternatif pengobatan yang memudahkan seorang ahli bedah untuk memilih jenis tindakan yang cocok dengan perkembangan penyakitnya dengan tujuan menyembuhkan infeksi, dengan tulang belakang stabil dan bebas rasa sakit, tanpa deformitas dan mengembalikan fungsi, sehingga memungkinkan penderita kembali kekehidupan sosial, keluarga dan lingkungan kerja. 2,3
II.2 ANATOMI VERTEBRA
Vertebra tipikal terdiri dari beberapa bagian, yaitu:
• Korpus vertebra, terletak di anterior, berfungsi untuk menjaga untuk menyangga berat badan.
• Arkus vertebra, terletak di posterior, menutup foramen vertebra. Di dalam foramina vertebral terdapat kanal vertebral tempat medula spinalis. Fungsi dari arkus vertebra untuk melindungi medulla spinalis. Arkus vertebra terdiri dari dua pedikel melingkar, satu dari korpus, dan dua plat datar yang disebut laminae yang menyatu di garis tengah posterior.
• Tiga prosesus, dua transversus dan satu spinosus, merupakan tempat perlekatan otot dan membantu pergerakan vertebra
• Empat prosesus artikularis, dua superior dan dua inferior, masing-masing mempunyai articular facet. Prosesus artikularis terproyeksi ke superior dan inferior dari arkus vertebra. Arah dari artikular facet menentukan pergerakan alami dari vertebra dan mencegah vertebra terjatuh ke anterior.
Gambar. Tulang kerangka tubuh.
Sumber :http://www.kennethsternchiropractic.com/anatomy-of-spine.htm
II.3 EPIDEMIOLOGI
Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis. Pada tahun 1995, diperkirakan ada 9 juta pasien TB baru dan 3 juta kematian akibat TB diseluruh dunia. Diperkirakan 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB di dunia, terjadi pada negara-negara berkembang. Demikian juga, kematian wanita akibat TB lebih banyak dari pada kematian karena kehamilan, persalinan dan nifas.
Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis (15-50 tahun). Diperkirakan seorang pasien TB dewasa, akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal tersebut berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20 – 30%. Jika ia meninggal akibat TB, maka akan kehilangan pendapatannya sekitar 15 tahun. Selain merugikan secara ekonomis, TB juga memberikan
dampak buruk lainnya secara sosial – stigma bahkan dikucilkan oleh masyarakat.1,2,3,4
Indonesia adalah kontributor penderita tuberkulosis nomor 3 di dunia setelah India dan Cina. 3 Diperkirakan terdapat 583.000 kasus baru tuberkulosis per tahun. Sebagian besar penderita berada dalam usia produktif (15-54 tahun), dengan tingkat sosioekonomi dan pendidikan yang rendah. 3
Keterlibatan tulang belakang akan mempererat morbiditas karena adanya potensi memperberat morbiditas karena adanya potensi defisit neurologis dan deformitas yang permanen. Ironisnya tulang belakang adalah lokasi infeksi tuberkulosis tulang dan send tersering, mencakup 50% seluruh penderita tuberkulosis osteoartikular. 2,4, 6 Pertuiset dkk mencatat pada sebuah penelitian, di Perancis tahun 1980-1994, spondilitis tuberkulosis merupakan 15% semua kasus tuberkulosis ekstrapulmoner dan merupakan 3-5% semua kasus tuberkulosis. 4 Hidalgo melaporkan di Amerika Serikat tahun 1986-1995 tuberkulosis osteoartikular merupakan 10% dari kasus tuberkulosis ekstrapulmoner dan 1,8% dari semua kasus tuberkulosis. 2 Hidalgo dan Pertuiset dkk 4 melaporkan adanya predominasi pria terhadap wanita. Didapatkan insidens lebih besar pada anak-anak terutama pada negara dengan prevalensi tuberkulosis yang tinggi. 5,7 Anak-anak di bawah usia 10 tahun cenderung mengalami destruksi vertebra lebih ekstensif dan memiliki risiko terjadinya deformitas tulang belakang yang lebih besar. 8 vertebra segmen torakal adalah yeng tersering terlibat diikuti segmen lumbal dan servikal. 2,5,7
Gambar. Insidens TB didunia (WHO, 2004)
Penyebab utama meningkatnya beban masalah TB antara lain adalah:
• Kemiskinan pada berbagai kelompok masyarakat, seperti pada negara negara yang sedang berkembang.
• Kegagalan program TB selama ini. Hal ini diakibatkan oleh:
- Tidak memadainya komitmen politik dan pendanaan
- Tidak memadainya organisasi pelayanan TB (kurang terakses oleh masyarakat, penemuan kasus /diagnosis yang tidak standar, obat tidak terjamin penyediaannya, tidak dilakukan pemantauan, pencatatan dan pelaporan yang standar, dan sebagainya).
- Tidak memadainya tatalaksana kasus (diagnosis dan paduan obat yang tidak standar, gagal menyembuhkan kasus yang telah didiagnosis)
- Salah persepsi terhadap manfaat dan efektifitas BCG.
- Infrastruktur kesehatan yang buruk pada negara-negara yang mengalami krisis
ekonomi atau pergolakan masyarakat.
• Perubahan demografik karena meningkatnya penduduk dunia dan perubahan struktur umur kependudukan.
• Dampak pandemi infeksi HIV.
Situasi TB didunia semakin memburuk, jumlah kasus TB meningkat dan banyak yang tidak berhasil disembuhkan, terutama pada negara yang dikelompokkan dalam 22 negara dengan masalah TB besar (high burden countries). Menyikapi hal tersebut, pada tahun 1993, WHO mencanangkan TB sebagai kedaruratan dunia (global emergency).
Munculnya pandemi HIV/AIDS di dunia menambah permasalahan TB. Koinfeksi TB dengan HIV akan meningkatkan risiko kejadian TB secara signifikan. Pada saat yang sama, kekebalan ganda kuman TB terhadap obat anti TB (multidrug resistance = MDR) semakin menjadi masalah akibat kasus yang tidak berhasil disembuhkan. Keadaan tersebut pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya epidemi TB yang sulit ditangani.
Masalah yang sering terjadi pada spondilitis TB adalah Infeksi, keadaan umum yang buruk, Dissiminated TB, lesi multipel pada tulang belakang, Cold abscess, nyeri, instabilitas, fraktur patologis, defisit neurologis, deformitas, kifosis yang progresif, masalah sosial ekonomi dan psikologis.1,2,4,5,6
II.4 ETIOLOGI
Tuberkulosis tulang belakang merupakan infeksi sekunder dari tuberkulosis di tempat lain di tubuh, 90-95% disebabkan oleh mikobakterium tuberkulosis tipik (2/3 dari tipe human dan 1/3 dari tipe bovin) dan 5-10% oleh mikobakterium tuberkulosa atipik. Kuman ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Kuman TB cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dorman, tertidur lama selama beberapa tahun. 1,3
II.5 PATOLOGI DAN PATOGENESIS
Spondilitis tuberkulosis terjadi melalui penyebaran hematogen dari fokus infeksi primer seperti paru-paru, kelenjar limfe mediastinum, mesenterium, servikal, ginjal dan alat-alat dalam lainnya. Kuman mencapai vertebra melalui Batson’s plexus of paravertebral veins.
Menurut Gilroy dan Meyer (1979), abses tuberkulosis biasanya terdapat pada daerah vertebra torakalis atas dan tengah, tetapi menurut Bedbrook (1981) paling sering pada vertebra torakalis 12. Tiksnadi dkk (2008) meneliti bahwa lokasi spondilitis TB terbanyak adalah di vertebral torakal sekitar 53%.2 Dan bila dipisahkan antara yang menderita paraplegia dan nonparaplegia maka paraplegia biasanya pada vertebra torakalis 10, sedangkan yang non paraplegia pada vertebra lumbalis. Penjelasan mengenai hal ini sebagai berikut : arteri induk yang mempengaruhi medulla spinalis segmen torakal paling sering terdapat pada vertebra torakal 8-lumbal 3 sisi kiri. Trombosis arteri yang vital ini akan menyebabkan paraplegia. Faktor lain yang perlu diperhitungkan adalah diameter relatif antara medulla spinalis dengan kanalis vertebralisnya. Intumesensia lumbalis mulai melebar kira-kira setinggi vertebra torakalis 10, sedang kanalis vertebralis di daerah tersebut relative kecil. Pada vertebra lumbalis 1, kanalis vertebralisnya jelas lebih besar oleh karena itu lebih memberikan ruang gerak bila ada kompresi dari bagian anterior. Hal ini mungkin dapat menjelaskan mengapa paraplegia lebih sering terjadi pada lesi setinggi vertebra torakal 10. 3
Kerusakan medulla spinalis akibat penyakit Pott terjadi melalui kombinasi 4 faktor yaitu :
1. Penekanan oleh abses dingin
2. Iskemia akibat penekanan pada arteri spinalis
3. Terjadinya endarteritis tuberkulosa setinggi blokade spinalnya
4. Penyempitan kanalis spinalis akibat angulasi korpus vertebra yang rusak
Spondilitis korpus vertebra dibagi menjadi tiga bentuk, yaitu sentral, anterior, dan paradiskus.
1. Spondilitis bentuk sentral
Pada bentuk ini destruksi awal terletak di sentral korpus vertebra. Bentuk ini sering ditemukan pada anak. Penyakit ini sering dikaitkan dengan meningitis tuberkulosa karena penyebarannya melalui pleksus Batson. Pada bentuk sentral akan terjadi osteoporosis dan destruksi hingga dapat terjadi kompresi vertebra. Kompresi vertebra bisa spontan, atau akibat jatuh yang ringan sehingga mungkin salah didiagnosis sebagai patah tulang kompresi traumatik. Bila terjadi kompresi, pada pemeriksaan klinis didapati gibus.
2. Spondilitis bentuk anterior
Lokus awal berada di korpus vertebra bagian anterior dan merupakan penjalaran perkontinuitatum dari vertebra di atasnya.
3. Spondilitis bentuk paradiskus.
Terletak di bagian korpus vertebra yang bersebelahan dengan diskus intervertebralis. Bentuk ini sering ditemukan pada orang dewasa. Bentuk paradiscal yang disertai destruksi korpus vertebra yang bersebelahan dengan diskus akan mengakibatkan iskemia sehingga terjadi nekrosis diskus. Pada gambaran rontgen terdapat penyempitan diskus intervertebra. Bila proses terus berlanjut terjadi osteoporosis dan penyebaran keseluruh korpus vertebra sehingga timbul kompresi vertebra dan terjadi gibus.
Reaksi yang pertama kali terjadi setelah adanya infeksi tuberkulosis terjadi pada sistem RES (reticulo-endothelial system) korpus vertebra berupa penimbunan sel-sel PMN yang segera digantikan oleh makrofag dan monosit. Lipid yang dihasilkan oleh proses fagositosis basil tuberkulosis oleh makrofag pada akhirnya akan dikeluarkan melalui sitoplasma makrofag tersebut dan membentuk sel-sel epiteloid. Sel-sel epiteloid inilah yang memberikan gambaran spesifik reaksi tubuh terhadap infeksi basil tuberkulosis. Kumpulan sel-sel epiteloid disebut sel datia langhans yang hanya terjadi jika ada nekrosis perkijuan. Fungsi utama sel datia langhans ini adalah mencerna dan membuang jaringan nekrosis.
Dalam waktu sekitar 1 (satu) minggu limfosit muncul dan membentuk cincin yang mengelilingi lesi. Kumpulan sel-sel epiteloid, sel datia langhans, dan limfosit ini membentuk suatu nodul yang disebut tuberkel. Pada minggu kedua mulai terjadi perkijuan di sentral tuberkel tersebut.
Reaksi eksudatif pada korpus vertebra berupa abses dingin yang terdiri dari serum, lekosit, jaringan perkijuan, debris tulang dan basil tuberkel. Abses ini dapat melakukan penetrasi dan menyebar ke berbagai arah.
Proses selanjutnya ditandai dengan hiperemi dan osteoporosis berat. Kerusakan vertebral terjadi akibat proses osteolisis, mengakibatkan perlunakan korpus sehingga memungkinkan terjadinya kompresi tulang.
Selanjutnya akan terbentuk nekrosis yang lebih banyak berupa abses dan debris. Abses dan debris makin banyak dan akan keluar dari vertebra mencari lokasi dengan tahanan paling lemah. Di vertebra lumbal abses akan turun ke bawah melalui sela aponeurosis otot psoas dan berhenti di retroperitoneal yang teraba pada palpasi abdomen.
Abses bisa berkumpul dan mendesak ke arah belakang sehingga menekan medula spinalis dan mengakibatkan paraplegia Pott yang disebut paraplegia awal. Paraplegia awal selain karena tekanan abses dapat juga disebabkan oleh kerusakan medula spinalis akibat gangguan vaskuler. Keadaan ini sangat jarang ditemukan pada tuberkulosis karena proses kronik menyebabkan terbentuknya pembuluh darah kolateral. Paraplegia dapat juga disebabkan akibat regangan terus menerus pada gibus yang disebut paraplegia lanjut.
Abses dingin di daerah torakal dapat menembus rongga pleura sehingga terjadi abses pleura, atau bahkan ke paru bila ada perlekatan paru. Di daerah servikal, abses dapat menembus dan berkumpul diantara vertebra dan faring.4,5,6
Spondilitis tuberkulosis merupakan fokus sekunder infeksi tuberkulosis dengan penyebaran sebagian besar secara hematogen 4,6,9,10 melalui pembuluh darah arteri epifiseal atau melalui plexus vena Batson. Telah ditemukan spondilitis tuberkulosis setelah instilasi BCG intravesical pada karsinoma buli-buli. 11 Fokus primer infeksi cenderung berbeda pada kelompok umur yang berbeda. Banerjee melaporkan pada 499 penderita dengan spondilitis tuberkulosis, foto radiologisnya memperlihatkan 31% fokus primer adalah paru-paru dan dari kelompok tersebut 78% adalah anak-anak; sedangkan 69% sisanya memperlihatkan rontgen paru-paru yang normal dan sebagian besar adalah dewasa. 7
Lesi spondilitis tuberkulosis berawal suatu tuberkel kecil yang berkembang lambat, bersifat osteolisis lokal, pada tulang subkondral di bagian superior atau inferior anterior dari korpus vertebra. 13 Proses infeksi Mycobacterium tuberkulosis akan mengaktifkan chaperonin 10 yang merupakan stimulator poten proses resorpsi tulang sehingga akan terjadi destruksi korpus vertebra di anterio. Proses perkejuan yang terjadi akan menghalangi proses pembentukan tulang reaktif dan mengakibatkan segmen tulang yang terinfeksi relatif avaskuler sehingga terbentuklah sequester tuberkulosis. Destruksi progresif di anterior akan mengakibatkan kolapsnya korpus vertebra yang terinfeksi dan terbentuklah kifosis (angulasi posterior) tulang belakang. Kecenderungan terjadinya kifosis bergantung pada segmen dan jumlah vertebra yang terlibat serta umur penderita. Pada segmen normal terdapat kifosis misalnya segmen torakal, kecenderungan kifosis menjadi progresif lebih tinggi dibandingkan dengan segmen lumbal yang secara normal.
Proses terjadinya kifosis da[at terus berlangsung walaupun telah terjadi resolusi proses infeksi
16 Kifosis yang progresif dapat mengakibatkan problem respirasi dan late-onset paraplegia.5,8,14,17
Selain itu merupakan persoalan kosmetik dan psikologis besar bagi penderita. Infeksi akhirnya menembus korteks vertebra, menginfeksi jaringan lunak sekitarnya dan membentuk abses paravertebral. Diseminasi lokal terjadi melalui penyebaran hematogen dan penyebaran langsung di bawah ligamentum longitudinal anterior. Apabila telah terbentuk abses paravertebral, lesi dapat turun mengikuti alur fasia muskulus psoas membentuk abses psoas yang dapat mencapai trigonum femoralis
Pada usia dewasa, diskus intervertebralis avaskuler sehingga lebih resisten terhadap infeksi dan kalaupun terjadi adalah sekunder dari korpus vertebra. Pada anakanak karena diskus intervertebralis masih bersifat vaskular, infeksi diskus dapat terjadi primer. Penyempitan diskus intervertebralis terjadi akibat destruksi tulang pada kedua sisi diskus sehingga diskus mengalami herniasi ke dalam korpus vertebra yang telah rusak. 5
Kompresi struktur neurologis terjadi akibat penekanan oleh proses ekstrinsik maupun instrinsik. Proses ekstrinsik pada fase aktif diakibatkan oleh akumulasi cairan akibat edema, abses kaseosa, jaringan granulasi, sequester tulang atau diskus. Sedangkan pada fase penyembuhan disebabkan oleh terbentuknya tonjolan-tonjolan tulang reaktif atau akibat proses fibrosis duramater. Proses intrinsik terjadi akibat penyebaran kuman tuberkulosis menembus dura dan melibatkan mening serta medulla spina
Gambar Patofisiologi Spondilitis tuberkulosis
Gambar Patogenesis Penyakit Tuberkulosis
II.6 GAMBARAN KLINIK
Gambaran klinik yang terjadi biasanya hanya berupa nyeri pinggang atau punggung. Nyeri ini terjadi akibat reaksi inflamasi di vertebra dan sukar dibedakan dengan nyeri oleh penyebab lain seperti kelainan degeneratif karena biasanya keadaan umum penderita masih baik. Pada foto rontgen belum didapatkan kelainan. Bila proses berlanjut, terjadi destruksi vertebra yang akan terlihat pada foto rontgen.
Abses psoas terlihat pada foto rontgen sebagai bayangan batas otot psoas yang kabur atau bayangan sklerotik di paravertebra berbentuk lonjong lancip. Abses dapat turun ke regio inguinal dan teraba sebagai benjolan yang perlu dibedakan dengan hernia femoralis.
Gejala awal paraplegia pada tuberkulosis tulang belakang dimulai dengan keluhan kaki terasa kaku atau lemah, atau penurunan koordinasi tungkai. Proses ini dimulai dengan penurunan daya kontraksi otot tungkai, dan peningkatan tonusnya. Kemudian terjadi spasme otot fleksor dan akhirnya kontraktur. Pada permulaan, paraplegia terjadi karena edema sekitar abses paraspinal tetapi akhirnya karena kompresi. Karena tekanan timbul terutama dari depan, maka gangguan pada paraplegia ini kebanyakan terbatas pada traktus motorik. Paraplegia kebanyakan ditemukan pada daerah torakal dan bukan lumbal karena kanalis lumbalis agak longgar dan kauda ekuina tidak mudah tertekan.4,5,6
Gambar 3. Gambaran klinik Spondilitis Tuberkulosis
II.7 DIAGNOSIS
Diagnosis spondilitis ditentukan berdasarkan gejala klinik dan pemeriksaan rontgen. Gejala yang mendukung diagnosis spondilitis tuberkulosis adalah nyeri yang meningkat pada malam hari makin lama makin berat terutama pada pergerakan. Anak kecil dapat berteriak saat tidur nyenyak malam hari. Keadaan ini terjadi karena otot erektor trunkus mengendur, sehingga terdapat pergerakan kecil antara vertebra yang sangat nyeri. Kemudian terbentuk gibus dan LED meningkat. Pada foto rontgen tampak penyempitan sela diskus dan gambaran abses paravertebral. Reaksi tuberkulin biasanya positif. Untuk melakukan pemeriksaan bakteriologis, dapat dilakukan pungsi abses atau dari debris yang didapat dari pembedahan.
II.7.1 Anamnesis
Tahap awal untuk menegakkan diagnosa adalah dengan menggali anamnesis yang mencakup tempat kelahiran, riwayat penderita/keluarga dan lingkungannya terhadap TB, riwayat imunisasi, sejarah kontak dengan penderita TB dan penyakit-penyakit lain yang terutama dapat menurunkan daya tahan/immunitas tubuh.
Riwayat penderita :
 Apakah berasal dari daerah endemis TB ?
 Apakah ada kontak dengan penderita TB ?
 Adakah riwayat atau sedang menderita TB Pulmonal atau ekstra pulmonal
lain diluar tulang belakang?
 Riwayat Imunisasi; apakah pernah/tidak pernah dilakukan, atau pernah dilakukan tetapi tidak lengkap.
 Apakah sedang menderita penyakit lain yang menurunkan daya tahan tubuh seperti HIV, dll.
Gejala dan tanda-tanda penyakit spondilitis TB :
Perjalanan klinis spondilitis tuberkulosis biasanya perlahan-lahan walaupun telah dilaporkan kasus dengan onset yang akut. 4 Gejala utama adalah nyeri tulang belakang. Nyeri biasanya bersifat kronis, dapat lokal maupun radikular. Penderita dengan keterlibatan vertebra segmen servikal dan torakal cenderung menderita defisit neurologis yang lebih akut sedangkan keterlibatan lumbal biasanya bermanifestasi sebagai nyeri radikular. 4 Selain nyeri, terdapat gejala sistemik berupa demam, malaise, keringat malam, peningkatan suhu tubuh pada sore hari dan penurunan berat badan. Tulang belakang terasa kaku dan nyeri pada pergerakan. 5,18
Tuli mengelompokkannya menjadi dua stadium, yaitu stadium akut dan penyembuhan.62 Pada stadium aktif, gejala dan tanda-tandanya biasanya tidak jelas tetapi dapat juga akut. Gejala yang sering terjadi pada stadium akut adalah nyeri pinggang yang terdapat pada setengah kasus spondilitis TB. Disertai demam, menggigil, keringat malam, penurunan berat badan, tidak ada nafsu makan, lemas dan kelelahan yang tidak spesifik. Punggung jadi kaku dan sakit waktu digerakkan disertai benjolan (gibus) yang juga terasa sakit bila ditekan. Otot-otot paravertebral menjadi kejang/spasme. Secara klinis sering ditemukan abses dingin di daerah inguinal. Kenyataannya beberapa gejala dan keluhan tersebut tidak selalu terjadi pada stadium akut, sehingga adanya riwayat keluarga yang menderita TB saja sudah dapat dipakai untuk menduga kelainan yang ada pada tulang belakang mempunyai kaitan dengan TB. Jika seorang klinikus secara rutin melakukan palpasi prosesus spinosus dari leher sampai ke sakrum akan dapat mendeteksi perubahan bentuk sekecil apapun sehingga dapat mendiagnosa TB tulang belakang sebelum penyakitnya berlanjut dan terjadinya destruksi korpus yang lebih luas dan gibus yang lebih menonjol.
Pada stadium penyembuhan, bila penyakit sudah sembuh penderita tidak nampak atau merasa sakit sama sekali. Tidak ada keringat malam dan panas sore hari lagi. Nyeri pada punggung dan spasme otot hilang. Tetapi deformitas yang terjadi pada stadium akut akan menetap.
Gambaran klinis TB yang tidak biasa (unusual) sebagai penyebab nyeri punggung yang menetap harus diingat bila ingin menegakkan diagnosa secara dini sebelum gejala lainnya timbul. Jarang sekali gejala pertama yang timbul berupa gangguan neurologis.
Infeksi pada craniocervical juntion menghasilkan gejala progresif. Gejala utama adalah nyeri pada belakang kepala dan leher. Sebagian besar disertai gejala umum infeksi tuberkulosis. Serak dapat terjadi dislokasi atlantoaksial yang menekan struktur saraf dan dapat menyebabkan deficit neurologis atan bahkan kematian.
Para penderita harus selalu dicoba dicari focus primer tuberculosis yaitu dapat berupa infeksi di paru-paru, saluran kemih maupun saluran cerna.
II.7.2 Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik status generalis penderita harus selalu dicari tanda-tanda TB pulmonal dan TB ekstra pulmonal lainnya seperti kelenjar limfe, saluran urogenital, abdomen, tulang dan sendi. Kemudian baru dicari gejala lokal pada tulang belakang, seperti gibus, abses. Perhatian khusus untuk mencari dan menilai beratnya gangguan neurologis harus betul-betul dikerjakan, karena berkaitan erat dengan metode pengobatan yang diberikan dan untuk meramal prognosis penyakit.
Pada pemeriksaan fisik, perlu diperhatikan dan dinilai :
• Inspeksi kulit pada tulang belakang, dengan perhatian ada tidaknya sinus
• Alignment tulang belakang, adanya spasme otot-otot paravertebral
• Diperhatikan ada tidaknya massa subkutan pada regio flank, inguinal, perineal atau gluteal
• Defisit neurologis dapat muncul awal atau pada fase penyembuhan. Gejala yang timbul tergantung pada level medula spinalis atau syaraf spinal yang terlibat.
• Infeksi pada craniocervical junction, ruang lingkup pada pemeriksaan fisik ditemukan keterbatasan gerak sendi leher, nyeri tekan dan spasme otot-otot posterior leher. Hampir pada semua kasus terbentuk abses retrofaring, selain itu dapat muncul disfagia, stridor, tortikolis dan suara
II.7.3 Pemeriksaan Laboratorium
o Peningkatan LED dan mungkin disertai leukositosis, tetapi hal ini tidak dapat digunakan untuk uji tapis. Al-marri melaporkan 144 anak dengan spondilitis tuberkulosis didapatkan 33 % anak dengan laju endap darah yang normal.
o Uji Mantoux positif
Gambar . Uji Mantoux
o Pada pewarnaan Tahan Asam dan pemeriksaan biakan kuman mungkin ditemukan mikobakterium
o Biopsi jaringan granulasi atau kelenjar limfe regional.
o Pemeriksaan histopatologis dapat ditemukan tuberkel
o Pungsi lumbal., harus dilakukan dengan hati-hati, karena jarum dapat menembus masuk abses dingin yang merambat ke daerah lumbal. Akan didapati tekanan cairan serebrospinalis rendah, test Queckenstedt menunjukkan adanya blokade sehingga menimbulkan sindrom Froin yaitu kadar protein likuor serebrospinalis amat tinggi hingga likuor dapat secara spontan membeku.
o Peningkatan CRP ( C-Reaktif Protein ) pada 66 % dari 35 pasien spondilitis tuberkulosis yang berhubungan dengan pembentukan abses.
o Pemeriksaan serologi didasarkan pada deteksi antibodi spesifik dalam sirkulasi.
o Pemeriksaan dengan ELISA ( Enzyme-Linked Immunoadsorbent Assay ) dilaporkan memiliki sensitivitas 60-80 % , tetapi pemeriksaan ini menghasilkan negatif palsu pada pasien dengan alergi.Pada populasi dengan endemis tuberkulosis,titer antibodi cenderung tinggi sehingga sulit mendeteksi kasus tuberkulosis aktif.
o Identifikasi dengan Polymerase Chain Reaction ( PCR ) masih terus dikembangkan. Prosedur tersebut meliputi denaturasi DNA kuman tuberkulosis melekatkan nucleotida tertentu pada fragmen DNA , amplifikasi menggunakan DNA polymerase sampai terbentuk rantai DNA utuh yang dapat diidentifikasi dengan gel. (2,3)
Pada pemeriksaan mikroskopik dengan pulasan Ziehl Nielsen membutuhkan 10 basil permililiter spesimen, sedangkan kultur membutuhkan 10 basil permililiter spesimen. Kesulitan lain dalam menerapkan pemeriksaan bakteriologik adalah lamanya waktu yang diperlukan. Hasil biakan diperoleh setelah 4-6 minggu dan hasil resistensi baru diperoleh 2-4 minggu sesudahnya.Saat ini mulai dipergunakan system BATEC ( Becton Dickinson Diagnostic Instrument System ), Dengan system ini identifikasi dapat dilakukan dalam 7-10 hari.Kendala yang sering timbul adalah kontaminasi oleh kuman lain, masih tingginya harga alat dan juga karena system ini memakai zat radioaktif maka harus dipikirkan bagaimana membuang sisa-sisa radioaktifnya.
II.7. 4 Pemeriksaan Radiologis
Suatu pencitraan yang ideal harus dapat memberikan keterangan mengenai 17
• Jumlah vertebra yang terlibat, sudut kifosis yang terjadi
• Seberapa jauh destruksi tulang telah terjadi, apakah hanya terbatas pada kolumna anterior atau sudah mencapai kolumna posterior
• Ada tidaknya keterlibatan jaringan lunak, termasuk pembentukan abses dan sekuesterisasi diskus interverbralis
• Ada tidaknya kompresi medula spinalis dan tingkat keseriusannya
o Pemeriksaan foto toraks untuk melihat adanya tuberkulosis paru. Hal in sangat diperlukan untuk menyingkirkan diagnosa banding penyakit yang lain
o Foto polos vertebra, ditemukan osteoporosis, osteolitik dan destruksi korpus vertebra, disertai penyempitan discus intervertebralis yang berada di antara korpus tersebut dan mungkin dapat ditemukan adanya massa abses paravertebral. Pada foto AP, abses paravertebral di daerah servikal berbentuk sarang burung (bird’s net), di daerah torakal berbentuk bulbus dan pada daerah lumbal abses terlihat berbentuk fusiform. Pada stadium lanjut terjadi destruksi vertebra yang hebat sehingga timbul kifosis.
o Dekalsifikasi suatu korpus vertebra (pada tomogram dari korpus tersebut mungkin terdapat suatu kaverne dalam korpus tersebut) oleh karena itu maka mudah sekali pada tempat tersebut suatu fraktur patologis. Dengan demikian terjadi suatu fraktur kompresi, sehingga bagian depan dari korpus vertebra itu adalah menjadi lebih tipis daripada bagian belakangnya (korpus vertebra jadi berbentuk baji) dan tampaklah suatu Gibbus pada tulang belakang itu.
o “Dekplate” korpus vertebra itu akan tampak kabur (tidak tajam) dan tidak teratur.
o Diskus Intervertebrale akan tampak menyempit.
o Abses dingin. (2,3,7)
Foto Roentgen, abses dingin itu akan tampak sebagai suatu bayangan yang berbentuk kumparan (“Spindle”). Spondilitis ini paling sering ditemukan pada vertebra T8-L3 dan paling jarang pada vertebra C1-2.
Gambar 4. X-ray v.Thoracal AP/lat.
II.7.5 Pemeriksaan CT scan
CT scan menggambarkan luasnya infeksi secara lebih akurat dan mendeteksi lesi lebih dini dibandingkan foto polos. Hofmann dkk24 melaporkan 25% penderita mereka memperlihatkan gambaran proses infeksi pada CT scan dan MRI yang lebih polos. CT scan efektif kalsifikasi pada abses jaringan lunak. Selain itu CT scan dapat digunakan untuk memandu prosedur biopsi.
Lesi terlihat osteolitik iregular, bermula pada korpus dan kemudian menyebar sehingga vertebra kolaps dan terjadi herniasi diskus ke dalam vertebra yang hancur.
CT scan dapat menggambarkan keterlibatan elemen posterior bilateral akan berakibat instabilitas tulang belakang sehingga tindakan operatif merupakan indikasi dan prosedur anterior strut grafting mungkin tidak adekuat sehingga dibutuhkan instrumentasi posterior.4,17,24
o CT scan dapat memberi gambaran tulang secara lebih detail dari lesi
irreguler, skelerosis, kolaps diskus dan gangguan sirkumferensi tulang.
o Mendeteksi lebih awal serta lebih efektif umtuk menegaskan bentuk dan
kalsifikasi dari abses jaringan lunak. Terlihat destruksi litik pada vertebra (panah hitam) dengan abses soft-tissue (panah putih)
Gambar 5. CT-scan spondilitis tuberculosis
II.7. 6 Pemeriksaan MRI
Kelebihan MRI adalah kemampuannya dalam proyeksi multiplanar dan dalam spesifitas terutama jaringan lunak yang dapat ditampilkan lebih baik sehingga dapat mendeteksi lesi lebih awal dan lebih menyeluruh.
Pada MRI akan ditemui penurunan intensitas sinyal fokus infeksi pada gambaran T1-weighted dan peningkatan sinyal yang heterogen pada gambaran T2-weighted.13,14 Pada pemberian kontras infeksi tuberkulosis memperlihatkan penyangatan inhomogen pada infiltrasi sumsum tulang dengan tepi lesi menyangat. Abses tuberkulosis pada pemberian kontras akan memperlihatkan penyangatan perifer dengan nekrosis sentral. Keterlibatan diskus invertebralis sebagian besar akan menampilkan gambran klasik diskitis berupa peningkatan singal pada gambaran T2-weighted, penurunan sinyal pada gambaran T1-weighted dan menyangat setelah pemberian kontras. 13
MRI menggambarkan perluasan infeksi paling baik dan dapat memperlihatkan penyebaran granuloma tuberkulosis di bawah ligamentum longitudinal anterior dan posterior. MRI dapat membedakan jaringan patologis yang mengakibatkan penekanan pada struktur neurologis. Hal ini penting karena intervensi bedah dibutuhkan pada defisit neurologis yang disebabkan penekanan oleh deformitas tulang berupa kifosis atau oleh konstriksi akibat fibrosis di sekeliling kanalis neuralis. 5,24
Mehta mengajukan klasifikasi tuberkulosis vertebra torakal berdasarkan ekstensi lesi yang terlihat pada MRI untuk perencanaan strategi pembedahan.
• Mengevaluasi infeksi diskus intervertebrata dan osteomielitis tulang belakang.
• Menunjukkan adanya penekanan saraf.
Dilaporkan 25 % dari pasien mereka memperlihatkan gambaran proses infeksi pada CT-Scan dan MRI yang lebih luas dibandingkan dengan yang terlihat dengan foto polos.CT-Scan efektif mendeteksi kalsifikasi pada abses jaringan lunak . Selain itu CT-Scan dapat digunakan untuk memandu prosedur biopsi.
Gambar 6. MRI Spondilitis tuberkulosis setinggi V.thorakalis
II.7.8 Bakteriologis
Kultur kuman tuberkulosis merupakan baku emas dalam diagnosis. Tantangan yang dihadapi saat ini adalah bagaimana mengonfirmasi diagnosis klinis dan radiologis secara mikrobakteriologis. Masalah terletak pada bagaimana mendapatkan spesimen dengan jumlah basil yang adekuat. Pemeriksaan mikroskopis dengan pulasan Ziehl-Nielsen membutuhkan 104 basil per mililiter spesimen, sedangkan kultur membutuhkan 103 basil per mililiter spesimen.5
Kesulitan lain dalam menerapakan pemeriksaan bakteriologis adalah lamanya waktu yang diperlukan. Hasil biakan diperoleh setelah 4-6 minggu dan hasil resistensi baru diperoleh 2-4 minggu sesudahnya. Saat ini mulai dipergunakan sistem BACTEC (Becton Dickinson Diagnostic Intrument System). Dengan sistem ini identifikasi dapat dilakukan dak\lam 7-10 hari. Kendala yang sering timbul adalah kontaminasi oleh kuman lain, masih tingginya harga alat dan juga karena sistem ini memakai zat radioaktif maka harus dipikirkan bagaimana membuang sisa-sisa radioaktifnya.
Pada negara di mana terdapat prevalensi tuberkulosis yang tinggi atau tidak terdapat sarana medis yang mencukupi, penderita dengan gambaran klinis dan radiologis yang sugestif spondilitis tuberkulosis tidak perlu dilakukan biopsi untuk memastikan diagnosis dan memulai pengobatan.5
II.7.9 Histopatologis
Infeksi tuberkulosis pada jaringan akan menginduksi reaksi radang granulomatosis dan nekrosis yang cukup karakteristik sehingga dapat membantu penegakan diagnosis. Ditemukannya tuberkel yang dibentuk oleh sel epiteloid, giant cell dan limfosit disertai nekrosis perkejuan di sentral memberikan nilai diagnostik paling tinggi dibandingkan temuan histopatologis lainnnya. Gambaran histopatologis berupa tuberkel saja harus dihubungkan dengan penemuan klinis dan radiologis.
II.8 DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding spondilitis tuberkulosis adalah fraktur kompresi traumatik atau akibat tumor. Tumor yang sering di vertebra adalah tumor metastatik dan granuloma eosinofilik. Diagnosis banding lain adalah infeksi kronik nontuberkulosis antara lain infeksi jamur seperti Blastomikosis dan setiap proses yang mengakibatkan kifosis dengan atau tanpa skoliosis.Dan infeksi piogenik, jamur, neoplasma atau penyakit degeneratif. Untuk menyingkirkan diagnosis banding tersebut diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium dan pencitraan yang teliti dan sesuai dengan kebutuhan.
Penemuan klinis biasanya dapat membedakan spondilitis tuberkulosis dengan penyakit degeneratif. Pada penyakit degeneratif diskus intervertebralis tidak terlalu menyempit dan pada MRI kerusakan diskus tampak berupa intensitas sinyal yang rendah pada gambaran T2-weighted.13
Perbedaan spondilitis tuberkulosis dengan spondilitis piogenik dapat dilihat dari progresivitas penyakitnya yakni spondilitis tuberkulosis cenderung lambat dan kronis.
Pada infeksi piogenik terjadi sklerosis reaktif, selain itu osteoporosis yang terjadi tidak senyata pada spondilitis tuberkulosis. Pada MRI, spondilitis pyogenik akan menampilkan penurunan sinyal pada T1-weighted, peningkatan sinyal pada T2-weighted dengan penyangatan yang homogen pada korpus dan diskus yang terinfeksi. Akumulasi porduk inflamasi pada infeksi piogenik biasanya tidak sebanyak yang terjadi pada spondilitis tuberkulosis. Adanya kalsifikasi lebih mengarah pada proses tuberculosis 13.
Infeksi brucellosis terutama terjadi pada pria, akibat kontak dengan binatang ternak terinfeksi atau mengonsumsi susu atau produk susu yang belum di pasteurisasi. Brucekkosis mempunyai perjalanan penyakit menyerupai tuberkulosis yang indolen. Spondilitis brucellosa sering terjadi pada vertebra lumbal bawah.Penampakan radiologis awal berupa rarefakti pada end-plates vertebra yang terlibat, penyempitan diskus invertebralis, abses jaringan lunak yang relatif kecil, dapat muncul erosi di korpus anterior vertebra. Diagnosis dipastikan dengan pemeriksaan antibodi serum terhadap brucella dan kultur. Lifeso dkk melaporkan bahwa brucellosis ditandai dengan demam, malaise, keringat malam, penurunan berat badan, sakit kepala, nyeri sendi disertai hepatosplenomegali, limfadenopati dan artropi. Calvo melaporkan kecenderungan terjadi imunosupresi, abses paravertebral, kompresi medula spinalis, anemia dan peningkatan laju endap darah lebih tinggi pada spondilitis tuberkulosis dibandingkan spondilitis brucellosis. Walaupun kecenderungan ini tidak bermakna secara statistik, tetapi membantu mengarahkan diagnosis sebelum diagnosis pasti ditegakkan.
Infeksi jamur pada tulang belakang lebih jarang ditemukan, biasanya terjadi pada penderita dengan penurunan daya tahan tubuh (immunocompromised). Menegakkan diagnosis infeksi spinal oleh jamur berdasarkan pencitraan saja seringkali sulit dilakukan. Infeksi dapat terjadi melalui mokulasi langsung akibat trauma, hematogenik, ekstensi langsung atau iatrogenik pada operasi tulang belakang. Pada blastomikosis, proses infeksi mengenai korpus, diskus dan dapat mencapai kaput costae yang terdekat, dapat dijumpai skip lesions13. Aktinomikosis biasanya juga dijumpai pada sudut mandibula dan menyebar dengan ekstensi langsung, lesi biasanya tidak nyeri, terdapat area osteolisis pada vertebra berupa soap bubble apprearance, abses paravertebral yang terjadi biasanya lebih kecil, proses infeksi dapat meluas mengikuti ligamentum longitudinalis dan dapat melibatkan elemen posterior serta kaput costae, jarang terjadi gibbus dan biasanya tidak melibatkan diskus intervetebralis.13
Membedakan proses metastasis dengan spondilitis tuberkulosis dapat dilakukan dengan anamnesis, evaluasi pencitraan dan biopsi. Proses keganasan menunjukkan penurunan sinyal pada gambaran T1-weighted dan peningkatan sinyal pada gambaran T2weighted. Gambarannya berupa destruksi dan infiltrasi korpus tanpa kolaps dan tanpa erosi end plates. Terjadi preservasi diskus, kecuali pada myeloma multipel.13 Tidak terdapat perluasan subligam pada proses metastasis.
II.9 PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan spondilitis tuberkulosis ditujukan untuk :
1. Eradikasi, atau minimal menahan perkembangan penyakit
2. Mencegah atau memperbaiki deformitas
3. Mencegah atau menanggulangi komplikasi utama berupa paraplegi
Kriteria kesembuhan sebagian besar ditekankan pada tercapainya favourable status yang didefenisikan sebagai pasien dapat beraktifitas penuh tanpa membutuhkan kemoterapi atau tindakan bedah lanjutan, tidak adanya keterlibatan system saraf pusat , focus infeksi yang tenang secara klinis maupun secara radiologis. (3,4,7)
Pada prinsipnya pengobatan tuberkulosis tulang belakang harus dilakukan sesegera mungkin untuk menghentikan progresivitas penyakit serta mencegah paraplegia.
Prinsip pengobatan paraplegia Pott sebagai berikut :
1. Pemberian obat antituberkulosis
2. Dekompresi medulla spinalis
3. Menghilangkan/ menyingkirkan infeksi
4. Stabilisasi vertebra dengan graft tulang (bone graft)
1. Terapi konservatif
a. Tirah baring (bed rest)
b. Memberi korset yang mencegah gerakan vertebra /membatasi gerak vertebra
c. Memperbaiki keadaan umum penderita
d. Pengobatan antituberkulosa
Standar pengobatan di indonesia berdasarkan program P2TB paru adalah :
 Kategori 1
Untuk penderita baru BTA (+) dan BTA(-)/rontgen (+), diberikan dalam 2 tahap ;
Tahap 1 : Rifampisin 450 mg, INH 300mg, Etambutol 1000 mg, dan Pirazinamid 1500 mg. Obat ini diberikan setiap hari selama 2 bulan pertama (60 kali).
Tahap 2: Rifampisin 450 mg, INH 600 mg, diberikan 3 kali seminggu (intermitten) selama 4 bulan (54 kali).
Lamanya pengobatan Dosis per hari Jumlah hari/kali menelan obat
Tablet Isoniazid @ 300 mg Tablet Rifampicin @ 450 mg Tablet Pyrazinamid @ 500 mg Tablet Etambutol @ 250 mg
2 bulan 1 1 3 3 60
4 bulan 2 1 0 0 54
Tabel Panduan OAT Kategori 1.
 Kategori 2
Untuk penderita BTA(+) yang sudah pernah minum obat selama sebulan, termasuk penderita dengan BTA (+) yang kambuh/gagal yang diberikan dalam 2 tahap yaitu :
o Tahap I diberikan Streptomisin 750 mg , INH 300 mg, Rifampisin 450 mg, Pirazinamid 1500mg dan Etambutol 750 mg. Obat ini diberikan setiap hari , Streptomisin injeksi hanya 2 bulan pertama (60 kali) dan obat lainnya selama 3 bulan (90 kali).
o Tahap 2 diberikan INH 600 mg, Rifampisin 450 mg dan Etambutol 1250 mg. Obat diberikan 3 kali seminggu (intermitten) selama 5 bulan (66 kali).
Kriteria penghentian pengobatan yaitu apabila keadaan umum penderita bertambah baik, laju endap darah menurun dan menetap, gejala-gejala klinis berupa nyeri dan spasme berkurang serta gambaran radiologik ditemukan adanya union pada vertebra. (1,3)
2. Terapi operatif
Bedah Kostotransversektomi yang dilakukan berupa debrideman dan penggantian korpus vertebra yang rusak dengan tulang spongiosa/kortiko – spongiosa.
Indikasi operasi yaitu:
1. Defisit neurologis yang signifikan terutama bila berhubungan dengan kifosis yang progresif atau herniasi tulang atau diskus pada kanalis neuralis.
2. Abses besar segmen servikal pada penderita dengan obstruksi saluran respirasi.
3. Lesi posterior yang disertai dengan pembentukan abses atau sinus
4. Instabilitas tulang belakang atau kifosis yang progresif walaupun telah mendapat kemoterapi adekuat.
5. Kegagalan terapi konservatif setelah pengobatan kemoterapi 3-6 bulan
6. Rekurensi infeksi atau defisit neurologis
• Bila dengan terapi konservatif setelah pengobatan kemoterapi 3-6 bulan tidak terjadi perbaikan paraplegia atau malah semakin berat. Biasanya 2 minggu sebelum tindakan operasi dilakukan, setiap spondilitis tuberkulosa diberikan obat tuberkulostatik.
• Adanya abses yang besar sehingga diperlukan drainase abses secara terbuka dan sekaligus debrideman serta bone graft.
• Abses besar segmen servikal pada pasien dengan obstruksi saluran respirasi .
• Pada pemeriksaan radiologis baik dengan foto polos, mielografi ataupun pemeriksaan CT dan MRI ditemukan adanya penekanan langsung pada medulla spinalis.
Walaupun pengobatan kemoterapi merupakan pengobatan utama bagi penderita tuberkulosis tulang belakang, namun tindakan operatif masih memegang peranan penting dalam beberapa hal, yaitu bila terdapat cold abses (abses dingin), lesi tuberkulosa, paraplegia dan kifosis progresif atau hernasi tulang atau diskus pada kanalis neuralis. (1,2,3,4)
Terdapat perdebatan perlu tidaknya intervensi operatif untuk mencegah kifosis pada fase penyembuhan. Rajasekkaran menyatakan ditemukannya disrupsi elemen posterior berupa dislokasi joint facet, retropulsi segmen vertebra ke posterior, translasi lateral kolumna vertebralis dan adanya tilting/toppling merupakan tanda awal instabilitas yang akan berakibat kifosis progresif dan menganjurkan tindakan bedah dilakukan dini.8 Penelitian MRC di Hong Kong, membandingkan secara prospektif selama 15 tahun antara penderita yang menjalani operasi debridement dan strut grafting dengan penderita yang menjalani operasi debridement saja. Pada kedua prosedur ternyata didapatkan hasil serupa mengenai resolusi defisit neurologis dan hilangnya nyeri.5, Akan tetapi pada penderita yang dilakukan strut grafting ternyata didapatkan koreksi kifosis sedangkan yang dilakukan debridement saja mengalami peningkatan kifosis. 5,
Upadhyay dkk menyatakan pentingnya intervensi bedah untuk mengatasi deformitas yang terjadi dan ternyata setelah dilakuukan fusi anterior tidak terjadi pertumbuhan elemen posterior yang disporporsioanl.
Yilmaz dkk menganjurkan instrumentasi anterior untuk menunjang anterior strut graft pada penderita dengan kifosis yang melibatkan lebih dari 2 segmen vertebra karena risiko kegagalan strut graft yang besar.
Beberapa penulis menganjurkan diguanakannya metode anterior bone graft disertai dengan osteotomi posterior dan artrodesis dengan menggunakan fiksasi interna sehingga akan didapatkan pemanjangan kolumna anterior dan pemendekan kolumna posterior. Metode ini membutuhkan kemampuan ahli bedah yang lebih trampil, tetapi memberikan tulang belakang yang lebih stabil dan dapat diterima secara kosmetik.
Karena spondilitis tuberkulosis terutama melibatkan elemen anterior tulang belakang direkomedasikan melakukan approach anterior sehingga abses dapat dievakuasi, subtansi yang nekrosis dapat dibuang, dapat dilakukan dekompresi anterior medulla spinalis. Jaringan untuk pemeriksaan histopatologi dan kultur didapat dengan mudah dan kifosis dapat dikoreksi atau distabilisasi dengah autogenous bone graft. Approach posterior diindikasikan pada keterlibatan elemen posterior dan posterior dan stabilisasi posterior dibutuhkan sebelum tindakan dekompresi anterior dan arthrodesis, juga pada penderita dengan tulang belakang yang sebenarnya stabil atau memiliki deformitas minimal tetapi memiliki tuberkuloma intrameduler atau abses epidural5.
Approach costotransversectomi dilakukan untuk drainase abses besar di segmen torak pada penderita yang tidak layak secara medis untuk menajalani torakotomi. Selain drainase abses pada approach ini juga dapat dilakukan evakuasi fragmen tulang atau bone grafting
Dekompresi anterior adekuat dalam interval 9 bulan setelah onset parapelgia kemungkinan besar menghasilkan resolusi komplit paraplegia tersebut. Bila dilakukan antara 9 -11 bulan akan didapatkan peningkatan fungsi neurologis substansial walaupun resolusi tidak komplit dan spastisitas akan menetap. Intervensi bedah dilakukan lebih dari 1 tahun setelah onset paraplegia jarang mengembalikan fungsi neurologis signifikan.5
Penulis senior Subroto Sapardan, telah mengembangkan metode total therapy yang merupakan gabungan tindakan konservatif dan operatif berdasarkan masalah yang ada pada masing-masing penderita. Metode tersebut meliputi antara lain :
1. Konservatif dengan obat-obatan Dilakukan pada stadium dini, keadaan umum baik, dan keluhan minmal.
2. Operasi untuk evakuasi abses Dilakukan pada dengan abses yang besar tetapi dengan lesi tulang yang terbatas
3. Hongkong method Dilakukan debridement anterior dan fusi anterior
4. Instrumentasi posterior untuk koreksi spontan disertai Hongkong method pada spondilitis tuberkulosis dengan deformitas kifosis yang tidak rigid
5. Instrumentasi posterior untuk koreksi spontan disertai Hongkong method dan shortening pada spondilitis tuberkulosis dengan deformitas kifosis rigid.
6. Hong Kong method didertai dengan intrumentasi anterior
7. Instrumentasi posterior dan debridement melalui costotransversectomi dapat disertai shortening pada lamina dan pedikel.
8. Instrumentasi posterior saja pada penderita yang dilakukan total posterior shortening atau pada penderita yang dilakukan posterolumbar intervertebral fusion. Hal ini dilakukan pada penderita dengan deformitas kifosis di lumbal.
9. Hanya dilakukan tindakan posterior debridement, laminektomi, biopsi transpedikuler dan instrumentasi. Hal ini dilakukan bila tidak ada abses, operasi anterior dipertimbangkan resikonya lebih besar.
10. Spondilitis yang sudah sembuh dengan kifosis berat (>600) terutama dengan defisit neurologis dilakukan tindakan posterior dan shortening lamina, pedikel dan korpus.
11. Spondilitis tuberkulosis dengan deformitas lebih dari 900, disertai kelumpuhan atau paralisis spastik dilakukan tindakan dekompresi medula spinalis dan fusi minimal atau tanpa koreksi.
Abses Dingin (Cold Abses)
Cold abses yang kecil tidak memerlukan tindakan operatif oleh karena dapat terjadi resorbsi spontan dengan pemberian tuberkulostatik. Pada abses yang besar dilakukan drainase bedah. Ada tiga cara menghilangkan lesi tuberkulosa, yaitu:
a. Debrideman fokal
b. Kosto-transveresektomi
c. Debrideman fokal radikal yang disertai bone graft di bagian depan.
Paraplegia
Penanganan yang dapat dilakukan pada paraplegia, yaitu:
a. Pengobatan dengan kemoterapi semata-mata
b. Laminektomi
c. Kosto-transveresektomi
d. Operasi radikal
e. Osteotomi pada tulang baji secara tertutup dari belakang
Operasi kifosis
Operasi kifosis dilakukan bila terjadi deformitas yang hebat,. Kifosis mempunyai tendensi untuk bertambah berat terutama pada anak-anak. Tindakan operatif dapat berupa fusi posterior atau melalui operasi radikal.
II.10 KOMPLIKASI
Abses, deformitas tulang belakang, defisit neurologis dan paraplegia.
II.11 UPAYA PENANGGULANGAN TB
Pada awal tahun 1990-an WHO dan IUATLD telah mengembangkan strategi penanggulangan TB yang dikenal sebagai strategi DOTS (Directly observed Treatment Short-course) dan telah terbukti sebagai strategi penanggulangan yang secara ekonomis paling efektif (cost-efective). Strategi ini dikembangkan dari berbagi studi, clinical trials, best practices, dan hasil
implementasi program penanggulangan TB selama lebih dari dua dekade. Penerapan strategi
DOTS secara baik, disamping secara cepat merubah kasus menular menjadi tidak menular,
juga mencegah berkembangnya MDR-TB.
Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas diberikan kepada pasien TB tipe menular. Strategi ini akan memutuskan penularan TB dan dengan demikian menurunkan insidens TB di masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan pasien merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan TB.
Pada tahun 1995, WHO telah merekomendasikan strategi DOTS sebagai strategi dalam penanggulangan TB. Bank Dunia menyatakan strategi DOTS sebagai salah satu intervensi kesehatan yang paling efektif. Integrasi strategi DOTS ke dalam pelayanan kesehatan dasar sangat dianjurkan demi efisiensi dan efektifitasnya. Satu studi cost benefit yang dilakukan oleh WHO di Indonesia menggambarkan bahwa dengan menggunakan strategi DOTS, setiap dolar yang digunakan untuk membiayai program penanggulangan TB, akan menghemat sebesar US$ 55 selama 20 tahun.
Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen kunci:
1. Komitmen politis
2. Pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya.
3. Pengobatan jangka pendek yang standar bagi semua kasus TB dengan tatalaksana kasus yang tepat, termasuk pengawasan langsung pengobatan.
4. Jaminan ketersediaan OAT yang bermutu.
5. Sistem pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program secara keseluruhan.
Dalam perkembangannya dalam upaya ekspansi penanggulangan TB, kemitraan global dalam penanggulangan TB (stop TB partnership) mengembangkan strategi sebagai berikut :
1. Mencapai, mengoptimalkan dan mempertahankan mutu DOTS
2. Merespon masalah TB-HIV, MDR-TB dan tantangan lainnya
3. Berkontribusi dalam penguatan system kesehatan
4. Melibatkan semua pemberi pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta.
5. Memberdayakan pasien dan masyarakat
6. Melaksanakan dan mengembangkan riset
Komitmen politis untuk menjamin keberlangsungan program penanggulangan TB adalah sangat penting bagi keempat komponen lainnya agar dapat dilaksanakan secara terus
menerus dan untuk menjamin bahwa program penanggulangan TB adalah prioritas serta menjadi bagian yang esensial dalam sistem kesehatan nasional.
II. 12 PROGNOSIS
Prognosis bergantung pada cepatnya dilakukan terapi dan ada tidaknya komplikasi neurologik. Untuk spondilitis dengan paraplegia awal, prognosis untuk kesembuhan sarafnya lebih baik, sedangkan spondilitis dengan paraplegia akhir prognosis biasanya kurang baik.
KESIMPULAN
1. Tuberkulosis tetap menjadi masalah besar bagi negara berkembang dan mulai menjadi masalah bagi negara maju.
2. Tulang belakang merupakan lokasi infeksi yang tersering tuberkulosis osteroartikular dengan risiko defisit neurologis dan defromitas permanen.
3. teknik pencitraan modern sebaiknya digunakan untuk mengidentifikasi lokasi dan luasnya keterlibatan penyakit sehingga penatalaksanaan dapat disesuaikan secara individual.
4. Penatalaksanan konservatif pada yang sesuai indikasi dapat mengatasi kasus spondilitis tuberkulosis secara efektif.
5. Penatalaksanaan spondilitis tuberkulosis ditujukan untuk eradikasi infeksi, memberikan stabilitas pada tulang belakang dan menghentikan atau memperbaiki kifosis.
DAFTAR PUSTAKA
1.Rasjad C. Spondilitis Tuberkulosa dalam Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Ed.II. Makassar: Bintang Lamumpatue. 2003. p. 144-149
2. Harsono. Spondilitis Tuberkulosa dalam Kapita Selekta Neurologi. Ed. II. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. 2003. p. 195-197
3. Anonim. Spondylitis Tuberkulosa. [Online]. 2007 Sept 13 [cited 2008 Feb 27];[3 screens]. Available from: URL:http:// www.medlinux.blogspot.com
4. Anonim. Introduction. [Online]. 2007 Sept 26 [cited 2008 Feb 27];[3 screens]. Available from: URL:http://www.bsac.org.uk
5. Hidalgo, JA. Pott Disease. [Online]. 2005 Aug 25 [cited 2008 Feb 27];[17 screens]. Available from: URL:http:www.eMedicine.com/med/topic
6. Anonim. Penyakit paget pada tulang. [Online]. 2006 Oct [cited 2008 Feb 27];[2 screens]. Available from: URL:http://www.patient.co.uk/showdoc/40001278/
7. Anonim. Paget’s disease of bone. [Online]. 2005 Oct [cited 2008 Feb 27];[4 screens]. Available from: URL:http:// www.thamburaj.com
8. Tamburaf, V. Spinal Tuberculosis. [Online]. 2006 Oct [cited 2008 Des 27];[4 screens]. Available from: URL:http://www.infeksi.com
9. Harisinghani, MG. Tuberculosis from Head to Toe. [Online]. 1999 Feb 19 [cited 2008 Des 27];[4 screens]. Available from: URL:http://www.nejm.com
10. Yanardag, H. Pott Disease. [Online]. 1999 Feb 19 [cited 2008 Des 27];[5 screens]. Available from: URL:http://www.ispub.com
11. Sinan, T. Spinal tuberculosis: CT and MRI features. [Online]. 1999 Feb 19 [cited 2008 Des 27];[5 screens]. Available from: URL:http://www.kfshrc.edu.sa
12. Danchaivijitr, N. Diagnostic Accuracy of MR Imaging in Tuberculous Spondylitis. [Online]. 2007 Feb 19 [cited 2008 Des 27];[5 screens]. Available from: URL:http://www.medassocthai.org/journal
13. Hidalgo JA. Pott disease ( Tuberculous spondylitis). Diunduh dari www.emedicine.com. Tanggal 18 Agustus 2009.
14. Moon MS. Tuberculosis of the spine: controversies and new challenge. Diunduh dari www.pubmed.com. Tanggal 18 Agustus 2009.
15. Rasjad C. Spondilitis Tuberkulosa dalam Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Ed.II. Makassar: Bintang Lamumpatue. 2003. hlm. 144-149
16. Harsono. Spondilitis Tuberkulosa dalam Kapita Selekta Neurologi. Ed. II. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. 2003. hlm. 195-197
17. Wim de Jong, Spondilitis TBC, Dalam Buku Ajar Ilmu Bedah, Jakarta; EGC. hlm. 1226-1229

Kamis, 21 Oktober 2010

Pemberian obat





















BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang


Salah satu tugas terpenting seorang perawat adalah member obat yang aman dan akurat kepada klien. Obat merupakan alat utama terapi untuk mengobati klien yang memiliki masalah. Obat bekerja menghasilkan efek terapeutik yang bermanfaat. Walaupun obat menguntungkan klien dalam banyak hal, beberapa obat dapat menimbulkan efek samping yang serius atau berpotensi menimbulkan efek yang berbahaya bila kita memberikan obat tersebut tidak sesuai dengan anjuran yang sebenarnya.
Seorang perawat juga memiliki tanggung jawab dalam memahami kerja obat dan efek samping yang ditimbulkan oleh obat yang telah diberikan, memberikan obat dengan tepat, memantau respon klien, dan membantu klien untuk menggunakannya dengan benar dan berdasarkan pengetahuan.
Oleh karena itu, pada makalah ini akan di bahas salah satu rute pemberian obat, yaitu rute pemberian obat secara PARENTERAL, memberikan obat pada pasien dengan menginjeksinya ke dalam tubuh.


B. Tujuan


Tujuan disusunnya makalah mengenai cara pemberian obat secara Parenteral ini adalah :
 Menjelaskan bagaimana harua melakukan persiapan pemberian obat parenteral.
 Menjelaskan macam-macam cara pemberian obat
 Menjelaskan indikasi dan kontra indikasi
 Menjelaskan hal-hal yang harus diperhatikan dan cara pemberiannya.















BAB II
PEMBAHASAN


PEMBERIAN OBAT SECARA PARENTERAL


Pemberian obat secara parenteral merupakan pemberian obat melalui injeksi atau infuse. Sediaan parenteral merupakan sediaan steril. Sediaan ini diberikan melalui beberapa rute pemberian, yaitu Intra Vena (IV), Intra Spinal (IS), Intra Muskular (IM), Subcutaneus (SC), dan Intra Cutaneus (IC). Obat yang diberikan secara parenteral akan di absorbs lebih banyak dan bereaksi lebih cepat dibandingkan dengan obat yang diberikan secara topical atau oral. Perlu juga diketahui bahwa pemberian obat parenteral dapat menyebabkan resiko infeksi.
Resiko infeksi dapat terjadi bila perawat tidak memperhatikan dan melakukan tekhnik aseptic dan antiseptic pada saat pemberian obat. Karena pada pemberian obat parenteral, obat diinjeksikan melalui kulit menembus system pertahanan kulit. Komplikasi yang seringv terjadi adalah bila pH osmolalitas dan kepekatan cairan obat yang diinjeksikan tidak sesuai dengan tempat penusukan sehingga dapat mengakibatkan kerusakan jaringan sekitar tempat injeksi.
Pada umumnya pemberian obat secara parenteral di bagi menjadi 4, yaitu :
A. Pemberian Obat Via Jaringan Intra Kutan
B. Pemberian Obat Via Jaringan Subkutan
C. Pemberian Obat Via Intra Vena : Intra Vena Langsung dan tak langsung
D. Pemberian Obat Via Intramuskular


A. Pemberian Obat Via Jaringan Intra Kutan

A. 1. Pengertian Intra Kutan
Merupakan cara memberikan atau memasukkan obat ke dalam jaringan kulit. Intra kutan biasanya di gunakan untuk mengetahui sensivitas tubuh terhadap obat yang disuntikkan.
A. 2. Tujuan
Pemberian obat intra kutan bertujuan untuk melakukan skintest atau tes terhadap reaksi alergi jenis obat yang akan digunakan. Pemberian obat melalui jaringan intra kutan ini dilakukan di bawah dermis atau epidermis, secara umum dilakukan pada daerah lengan tangan bagian ventral.


A. 3. Hal-hal Yang Perlu Di Perhatikan
Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah :
1. Tempat injeksi
2. Jenis spuit dan jarum yang digunakan
3. Infeksi yang mungkin terjadi selama infeksi
4. Kondisi atau penyakit klien
5. Pasien yang benar
6. Obat yang benar
7. Dosis yang benar
8. Cara atau rute pemberian obat yang benar
9. Waktu yang benar

A. 4. Indikasi dan Kontra Indikasi
- Indikasi : bisa dilkakukan pada pasien yang tidak sadar, tidak mau bekerja sama karena tidak memungkinkan untuk diberikan obat secara oral, tidak alergi. Lokasinya yang ideal adalah lengan bawah dalam dan pungguang bagian atas.
- Kontra Indikasi : luka, berbulu, alergi, infeksi kulit

A. 5. Alat dan Bahan
 Daftar buku obat/catatan, jadwal pemberian obat.
 Obat dalam tempatnya
 Spuit 1 cc/spuit insulin
 Cairan pelarut
 Bak steril dilapisi kas steril (tempat spuit)
 Bengkok
 Perlak dan alasnya.

A. 6. Prosedur Kerja
1. Cuci tangan
2. Jelaskan prosedur yang akan dilakukan pada pasien
3. Bebaskan daerha yang akan disuntik, bila menggunakan baju lengan panjang terbuka dan keatasan
4. Pasang perlak/pengalas di bawah bagian yang akan disuntik
5. Ambil obat untuk tes alergi kemudian larutkan/encerkan dengan aquades. Kemudian ambil 0,5 cc dan encerkan lagi sampai kurang lebih 1 cc dan siapkan pada bak injeksi atau steril.
6. Desinfeksi dengan kapas alcohol pada daerah yang akan dilakukan suntikan.
7. Tegangkan dengan tangan kiri daerah yang akan disuntik.
8. Lakukan penusukan dengan lubang jarum suntik menghadap ke atas dengan sudut 15-20 derajat di permukaan kulit.
9. Suntikkkan sampai terjadi gelembung.
10. Tarik spuit dan tidak boleh dilakukan masase.
11. Cuci tangan dan catat hasil pemberian obat/tes obat, waktu, tanggal dan jenis obat.

 Gambar injeksi Intra kutan :









 Daerah Penyuntikan :
o Dilengan bawah : bagian depan lengan bawah 1/3 dari lekukan siku atau 2/3 dari pergelangan tangan pada kulit yang sehat, jauh dari PD.
o Di lengan atas : 3 jari di bawah sendi bahu, di tengah daerah muskulus deltoideus.


B. Pemberian Obat Via Jaringan SubKutan

B. 1. Pengertian
Merupakan cara memberikan obat melalui suntikan di bawah kulit yang dapat dilakukan pada daerah lengan bagian atas sebelah luar atau sepertiga bagian dairi bahu, paha sebelah luar, daerah dada dan sekitar umbilicus (abdomen).

B. 2. Tujuan
Pemberian obat melalui jaringan sub kutan ini pada umumnya dilakukan dengan program pemberian insulin yang digunakan untuk mengontrol kadar gula darah. Pemberian insulin terdapat 2 tipe larutan yaitu jernih dan keruh karena adanya penambahan protein sehingga memperlambat absorbs obat atau juga termasuk tipe lambat.

B. 3. Hal-hal yang perlu diperhatikan
 Tempat injeksi
 Jenis spuit dan jarum suntik yang akan digunakan
 Infeksi nyang mungkin terjadi selama injeksi
 Kondisi atau penyakit klien
 Apakah pasien yang akan di injeksi adalah pasien yang tepat
 Obat yang akan diberikan harus benar
 Dosisb yang akan diberikan harus benar
 Cara atau rute pemberian yang benar
 Waktu yang tepat dan benar

B. 4. Indikasi dan kontra indikasi
- Indikasi : bias dilakukan pada pasien yang tidak sadar dan tidak mau bekerja sama, karena tidak memungkinkan diberikan obat secara oral, bebas dari infeksi, lesi kulit, jaringan parut, tonjolan tulang, otot atau saras besar di bawahnya, obat dosis kecil yang larut dalam air.
- Kontra indikasi : obat yang merangsang, obat dalam dosis besar dan tidak larut dalam air atau minyak.

B. 5. Alat dan bahan
 Daftar buku obat/catatan dan jadual pemberian obat
 Obat dalam tempatnya
 Spuit insulin
 Kapas alcohol dalam tempatnya
 Cairan pelarut
 Bak injeksi
 Bengkok perlak dan alasnya

B. 6. Prosedur kerja
1. Cuci tangan
2. Jelaskan prosedur yang akan dilakukan
3. Bebaskan daerah yang akan disuntik atau bebaskan suntikan dari pakaian. Apabila menggunakan pakaian, maka buka pakaian dan di keataskan.
4. Ambil obat dalam tempatnya sesuai dosis yang akan diberikan. Setelah itu tempatkan pada bak injeksi.
5. Desinfeksi dengan kapas alcohol.
6. Regangkan dengan tangan kiri (daerah yang akan dilakukan suntikan subkutan).
7. Lakukan penusukan dengan lubang jarum menghadap ke atas dengan sudut 45 derajat dari permukaan kulit.
8. Lakukan aspirasi, bila tidak ada darah, suntikkan secara perlahan-lahan hingga habis.
9. Tarik spuit dan tahan dengan kapas alcohol dan spuit yang telah dipakai masukkan ke dalam bengkok.
10. Catat hasil pemberian, tanggal, waktu pemberian, dan jenis serta dosis obat.
11. Cuci tangan.

 Gambar Injeksi Sub Kutan :










 Daerah Penyuntikan :
o Otot Bokong (musculus gluteus maximus) kanan & kiri ; yang tepat adalah 1/3 bagian dari Spina Iliaca Anterior Superior ke tulang ekor (os coxygeus)
o Otot paha bagian luar (muskulus quadriceps femoris)
o Otot pangkal lengan (muskulus deltoideus)


C. Pemberian Obat Via Intra Vena :
a. Pemberian Obat Via Jaringan Intra Vena langsung
C. a. 1. Pengertian
Cara memberikan obat pada vena secara langsung. Diantaranya vena mediana kubiti/vena cephalika (lengan), vena sephanous (tungkai), vena jugularis (leher), vena frontalis/temporalis (kepala).

C. a. 2. Tujuan
pemberian obat intra vena secara langsung bertujuan agar obat dapat bereaksi langsung dan masuk ke dalam pembuluh darah.

C. a. 3. Hal-hal yang diperhatikan
 setiap injeksi intra vena dilakukan amat perlahan antara 50 sampai 70 detik lamanya.
 Tempat injeksi harus tepat kena pada daerha vena.
 Jenis spuit dan jarum yang digunakan.
 Infeksi yang mungkin terjadi selama injeksi.
 Kondisi atau penyakit klien.
 Obat yang baik dan benar.
 Pasien yang akan di injeksi adalah pasien yang tepat dan benar.
 Dosis yang diberikan harus tepat.
 Cara atau rute pemberian obat melalui injeksi harus benar.

C. a. 4. Indikasi dan kontra indikasi
- indikasi : bias dilakukan pada pasien yang tidak sadar dan tidak mau bekerja sama karena tidak memungkinkan untuk diberikan obat secara oral dan steril.
- kontra indikasi : tidak steril, obat yang tidak dapat larut dalam air, atau menimbulkan endapan dengan protein atau butiran darah.

C. a. 5. Alat dan bahan
 daftar buku obat/catatan dan jadual pemberian obat.
 Obat dalam tempatnya.
 Spuit sesuai dengan jenis ukuran
 Kapas alcohol dalam tempatnya.
 Cairan pelarut (aquades).
 Bak injeksi.
 Bengkok.
 Perlak dan alasnya.
 Karen pembendung.

C. a. 6. Prosedur kerja
1. cuci tangan.
2. Jelaskan prosedur yang akan dilakukan.
3. Bebaskan daerah yang akan disuntik dengan cara membebaskan pakaian pada daerah penyuntikan, apabila tertutup, buka dan ke ataskan.
4. Ambil obat pada tempatnya sesuai dosi yang telah ditentukan. Apabila obat dalam bentuk sediaan bubuk, maka larutkan dengan aquades steril.
5. Pasang perlak atau pengalas di bawah vena yang akan dilakukan injeksi.
6. Tempatkan obat yang telah di ambil ke dalam bak injeksi.
7. Desinfeksi dengan kapas alcohol.
8. Lakukan pengikatan dengan karet pembendung pada bagian atas daerah yang akan dilakukakn pemberian obat atau minta bantuan untuk membendung daerah yang akan dilakukan penyuntikan dan lakukan penekanan.
9. Ambil spuit yang berisi obat.
10. Lakukan penusukan dengan lubang menghadap ke atas dengan memasukkan ke pembuluh darah.
11. Lakukan aspirasi, bila sudah ada darah lepaskan karet pembendung dan langsung semprotkan hingga habis.
12. Setelah selesai ambil spuit dengan menarik secara perlahan-lahan dan lakukan masase pada daerah penusukan dengan kapas alcohol, spuit yang telah digunakan di masukkan ke dalam bengkok.
13. Catat hasil pemberian, tanggal, waktu, dan dosis pemberian obat.
14. Cuci tangan.
b. Pemberian Obat Via Jaringan Intra Vena Secara tidak Langsun.
C. b. 1. Pengertian
Merupakan cara memberikan obat dengan menambahkan atau memasukkan obat ke dalam wadah cairan intra vena.

C. b. 2. Tujuan
pemberian obat intra vena secara tidak langsung bertujuan untuk meminimalkan efek samping dan mempertahankan kadar terapeutik dalam darah.

C. b. 3. Hal-hal yang perlu diperhatikan
 injeksi intra vena secara tidak langsung hanya dengan memasukkan cairan obat ke dalam botol infuse yang telah di pasang sebelumnya dengan hati-hati.
 Jenis spuit dan jarum yang digunakan.
 Infeksi yang mungkin terjadi selama injeksi.
 Obat yang baik dan benar.
 Pasien yang akan di berikan injeksi tidak langsung adalah pasien yang tepat dan benar.
 Dosis yang diberikan harus tepat.
 Cara atau rute pemberian obat melalui injeksi tidak langsung harus tepat dan benar.

C. b. 4. Indikasi dan kontra indikasi
- indikasi : bias dilakukan pada pasien yang tidak sadar dan tidak mau bekerja sama karena tidak memungkinkan untuk diberikan obat secara oral dan steril.
- kontra indikasi : tidak steril, obat yang tidak dapat larut dalam air, atau menimbulkan endapan dengan protein atau butiran darah.

C. b. 5. Alat dan bahan
 Spuit dan jarum sesuai ukuran
 Obat dalam tempatnya.
 Wadah cairan (kantung/botol).
 Kapas alcohol dalam tempatnya..

C. b. 6. Prosedur kerja
1. cuci tangan.
2. Jelaskan prosedur yang akan dilakukan.
3. Periksa identitas pasien dan ambil obat dan masukkan ke dalam spuit.
4. Cari tempat penyuntikan obat pada daerah kantung. Alangkah baiknya penyuntikan pada kantung infuse ini dilakukan pada bagian atas kantung/botol infuse.
5. Lakukan desinfeksi dengan kapas alcohol pada kantung/botol dan kunci aliran infuse.
6. Lakukan penyuntikan dengan memasukkan jarum spuit hingga menembus bagian tengah dan masukkan obat secara perlahan-lahan ke dalam kantong/botol infuse/cairan.
7. Setelah selesai, tarik spuit dan campur larutan dengan membalikkan kantung cairan dengan perlahan-lahan dari satu ujung ke ujung yang lain.
8. Ganti wadah atau botol infuse dengan cairan yang sudah di injeksikan obat di dalamnya. Kemudian gantungkan pada tiang infuse.
9. Periksa kecepatan infuse.
10. Cuci tangan.
11. Catat reaksi pemberian, tanggal, waktu dan dosis pemberian.

 Gambar Injeksi Intra Vena :












 Daerah Penyuntikan :
o Pada Lengan (v. mediana cubiti / v. cephalika)
o Pada Tungkai (v. Spahenous)
o Pada Leher (v. Jugularis)
o Pada Kepala (v. Frontalis atau v. Temporalis) khusus pada anak – anak


D. Pemberian Obat Via Intra Muskular
D. 1. Pengertian
Merupakan cara memasukkan obat ke dalam jaringan otot. Lokasi penyuntikan dapat dilakukan pada daerah paha (vastus lateralis) dengan posisi ventrogluteal (posisi berbaring), dorsogluteal (posisi tengkurap), atau lengan atas (deltoid).

D. 2. Tujuan
Agar obat di absorbs tubuh dengan cepat.

D. 3. Hal-hal yang perlu diperhatikan
 Tempat injeksi.
 Jenis spuit dan jarum yang digunakan.
 Infeksi yang mungkin terjadi selama injeksi.
 Kondisi atau penyakit klien.
 Obat yang tepat dan benar.
 Dosis yang diberikan harus tepat.
 Pasien yang tepat.
 Cara atau rute pemberian obat harus tepat dan benar.

D. 4. Indikasi dan kontra indikasi
- indikasi : bias dilakukan pada pasien yang tidak sadar dan tidak mau bekerja sama karena tidak memungkinkan untuk diberikan obat secara oral, bebas dari infeksi, lesi kulit, jaringan parut, tonjolan tulang, otot atau saras besar di bawahnya.
- kontra indikasi : Infeksi, lesi kulit, jaringan parut, tonjolan tulang, otot atau saraf besar di bawahnya.

D. 5. Alat dan bahan
 Daftar buku obat/catatan dan jadual pemberian obat.
 Obat dalam tempatnya.
 Spuit da jarum suntik sesuai dengan ukuran. Untuk dewasa panjangnya 2,5-3 cm, untuk anak-anak panjangnya 1,25-2,5 cm.
 Kapas alcohol dalam tempatnya.
 Cairan pelarut.
 Bak injeksi.
 Bengkok.

D. 6. Prosedur kerja
1. cuci tangan.
2. Jelaskan prosedur yang akan dilakukan.
3. Ambil obat dan masukkan ke dalam spuit sesuai dengan dosisnya. Setelah itu letakkan dalam bak injeksi.
4. Periksa tempat yang akan di lakukan penyuntikan (perhatikan lokasi penyuntikan).
5. Desinfeksi dengan kapas alcohol pada tempat yang akan dilakukan injeksi.
6. Lakukan penyuntikan :
 Pada daerah paha (vastus lateralis) dengan cara, anjurkan pasien untuk berbaring telentang dengan lutut sedikit fleksi.
 Pada ventrogluteal dengan cara, anjurkan pasien untuk miring, tengkurap atau telentang dengan lutut dan pinggul pada sisi yang akan dilakukan penyuntikan dalam keadaan fleksi.
 Pada daerah dorsogluteal dengan cara, anjurkan pasien untuk tengkurap dengan lutut di putar kea rah dalam atau miring dengan lutut bagian atas dan diletakkan di depan tungkai bawah.
 Pada daerah deltoid (lengan atas) dilakukan dengan cara, anjurkan pasien untuk duduk atau berbaring mendatar lengan atas fleksi.
7. Lakukan penusukan dengan posisi jarum tegak lurus.
8. Setelah jarum masuk, lakukan aspirasi spuit, bila tidak ada darah yang tertarik dalam spuit, maka tekanlah spuit hingga obat masuk secara perlahan-lahan hingga habis.
9. Setelah selesai, tarik spuit dan tekan sambuil di masase daerah penyuntikan dengan kapas alcohol, kemudian spuit yang telah di gunakan letakkan dalam bengkok.
10. Catat reaksi pemberian, jumlah dosis, dan waktu pemberian.
11. Cuci tangan

 Gambar Injeksi Intra Muskular :











 Daerah Penyuntikan :
o Bagian lateral bokong (vastus lateralis)
o Butoks (bagian lateral gluteus maksimus)
o Lengan atas (deltpid)





BAB III
PENUTUP


A. Kesimpulan

Obat dapat diberikan dengan berbagai cara disesuaikan dengan kondisi pasien, diantaranya : sub kutan, intra kutan, intra muscular, dan intra vena. Dalam pemberian obat ada hal-hal yang perlu diperhatikan, yaitu indikasi dan kontra indikasi pemberian obat. Sebab ada jenis-jensi obat tertentu yang tidak bereaksi jika diberikan dengan cara yang salah.



B. Saran

Setiap obat merupakan racun yang yang dapat memberikan efek samping yang tidak baik jika kita salah menggunakannya. Hal ini tentunya dapat menimbulkan kerugian bahkan akibatnya bias fatal. Oleh karena itu, kita sebagai perawat kiranya harus melaksanakan tugas kita dengan sebaik-baiknya tanpa menimbulkan masalah-masalah yang dapat merugikan diri kita sendiri maupun orang lain.
































DAFTAR PUSTAKA



L, Kee Joyce & R, Hayes evelyn ; farmakologi Pendekatan proses Keperawatan, 1996 ; EGC; Jakarta.

Priharjo, Robert; Tekhnik Dasar Pemberian Obat Bagi Perawat, 1995; EGC; Jakarta.

Aziz, Azimul; Kebutuhan dasar manusia II.

Bouwhuizen, M; Ilmu Keperawatan Bagian 1; 1986; EGC; Jakarta.














































DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii

BAB I : PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Tujuan 1

BAB II : PEMBAHASAN 2
A. Pemberian Obat Via intra Kutan 2
B. Pemberian Obat Via Sub Kutan 4
C. Pemberian Obat Via Intra Vena 6
D. Pemberian Obat Via Intra Muskular 10

BAB III : PENUTUP 13
A. Kesimpulan 13
B. Saran 13

DAFTAR PUSTAKA 14

0 komentar:

Poskan Komentar